Faktual

Membaca Manuver Partai Ummat: Benarkah Politik Identitas Adalah Politik yang Pancasilais?

Ketua Umum DPP Partai Ummat Ridho Rahmadi secara terang-terangan mengatakan partai yang dipimpinnya akan mengusung politik identitas dalam perhelatan Pilpres 2024 karena menurutnya Partai Ummat sendiri adalah politik identitas. “Kami akan secara lantang mengatakan, ‘Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas’,” ucap Ridho dalam pidatonya di pembukaan Rakernas Partai Ummat, Jakarta, Senin (13/2).

Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa politik identitas adalah politik pancasilais. Dengan kata lain, menurutnya politik identitas adalah politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila. “Dengan demikian perlu dipahami sesungguhnya politik identitas adalah politik yang pancasilais,” katanya.

Irasional dan menyesatkan

Lebih lanjut Ketua DPP Partai Ummat Ridho Rahmadi itu juga mengatakan bahwa politik identitas adalah politik pancasilais karena baginya agama harus menjadi kekuatan moral yang memandu praktik politik kita. Menurutnya, tanpa kontrol moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas relatif dan etika situasional.

Pernyataan lanjutan Ketua Umum DPP Partai Ummat ini bisa kita benarkan. Akan tetapi, jika itu yang dimaksud sebagai politik identitas, maka pernyataannya di awal yang mengatakan bahwa politik identitas adakah politik pancasilais adalah irasional, sesat dan menyesatkan. Sebab, agama sebagai basis moral dan agama sebagai basis politik adalah dua hal yang berbeda yang secara fundamental-konseptual tidak bisa disamakan.

Bisa dikatakan, dengan menyamakan agama sebagai basis moral dan agama sebagai basis politik, Ketua Umum DPP Partai Ummat itu tidak paham dengan apa yang disebut dengan Islam Politik dan Politik Islam. Islam politik dan politik Islam adalah dua hal yang berbeda. Islam politik menghendaki pelibatan simbol-simbol agama ke dalam kontestasi politik. Bahkan, bagi kelompok Islam Politik, simbol lebih penting daripada nilai itu sendiri.

Sementara politik Islam, berbeda dengan Islam Politik, tak menghendaki simbol-simbol agama dilibatkan ke dalam gelanggang politik. Sebab, bagi kelompok politik Islam, yang terpenting bukanlah simbol, melainkan nilai dan substansi menjiwai dinamika politik. Artinya, bagi kelompok politik Islam, agama tidak harus tersimbolisasi ke gelanggang politik, namun cukup mengisi dan menginspirasi praktik politik.

Sederhananya, agama sebagai kontrol moral bukanlah apa yang kita sebut dengan politik identitas. Agama sebagai basis moral bertumpu pada gerakan politik Islam. Sementara agama sebagai basis politik bertumpu pada gerakan Islam politik yang belum tentu menjiwai semangat Islam. Jadi, secara konseptual keduanya berbeda. Menganggap keduanya sebagai sesuatu yang sama adalah irasional dan sesat pikir. Dan, lebih sesat lagi bila politik identitas itu dikatakan sebagai politik yang pancasilais.

Menjadikan agama sebagai inspirasi politik, baik dalam kontestasi politik elektoral ataupun dalam pembuatan kebijakan, memang masih senafas dengan Pancasila. Akan tetapi, menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh dukungan suara elektoral, adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Praktik politik semacam itu bertentangan dengan Pancasila.

Selain bertentangan dengan Pancasila, politisasi identitas dan simbol-simbol agama juga sangat berbahaya, yang jika terus dimainkan, berpotensi merusak kerukunan dan persatuan. Ada banyak kasus yang bisa kita jadikan pelajaran. Selain Pilkada DKI (2017), Pilpres 2019, di dunia internasional, juga ada Pilpres AS (2016) yang bisa kita jadikan pelajaran penting.

Pada perhelatan Pilpres 2016, kesatuan AS hancur hingga ke titik paling mengerikan. Hal itu karena calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, kerap kali menjadikan identitas ras kulit putih dan kulit hitam sebagai komoditas kampanyenya. Ia—Donald Trump—guna mengantongi dukungan kulit putih—dengan ekstrem memunculkan sejumlah narasi rasisme terhadap ras kulit hitam sembari mengungulkan ras kulit putih. Hingga akhirnya narasi politik identitas itu membuat AS pecah hingga ke titik nadir.

Karenanya, dengan itu, apa pun alasannya, politik identitas tetaplah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Partai Ummat, yang telah dengan terang-terangan mengatakan akan memainkan politik identitas dalam perhelatan Pilpres 2024 harus membatalkan kehendaknya. Persatuan dan keutuhan bangsa jauh lebih penting dibanding percaturan politik itu sendiri.

This post was last modified on 16 Februari 2023 2:03 PM

L Rahman

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

1 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

1 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

1 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

1 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

1 minggu ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

1 minggu ago