“Jadi kalau dilihat dari dampaknya, ternyata politik SARA dampaknya jauh lebih dahsyat dari politik uang. Politik uang terlokalisir hanya di daerah tempat pilkada berlangsung dan relatif berjangka pendek karena orang datang ke TPS, suaranya dibeli.”
(Ray Rangkuti, 2017)
Persoalan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) merupakan persoalan yang tabu. Di dalam kelompok masyarakat, tidak diperkenankan satu kelompok menghina kelompok lain lantaran perbedaan salah satu dari keempatnya. Namun sekarang zamannya sudah berbeda, perkara yang tadinya tabu tidak lagi dirahasiakan. Justru, perkara yang tabu dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk melumpuhkan “musuh” pribadi atau kelompok tertentu.
Di dunia politik, isu SARA merupakan senjata ampuh seorang politikus untuk menjatuhkan nama baik lawan politiknya. Dengan isu SARA, seorang yang awalnya mendapatkan simpati mayoritas masyarakat, bisa berubah drastis menjadi miskin pemilih. Sebagai missal, seorang politikus yang meyakini agama tertentu sementara, secara mayoritas masyarakat memiliki keyakinan yang berbeda, manakala isu SARA ini digunakan oleh lawan politiknya, pasti ia akan kehilangan pemilih. Track record yang telah ditorehkan dalam mengabdi kepada masyarakat tidak akan dapat terlihat manakala telah tertutup isu SARA agama.
Keberhasilan para politikus dalam menggunakan isu SARA sebagai alat untuk menjatuhkan lawan diperkirakan akan terulang pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018. Para punggawa bangsa, tokoh agama, panitia penyelenggara pilkada, hingga masyarakat sipil banyak yang menghawatirkan permasalahan ini. Karena, jika permasalahan SARA kembali mencuat, maka masyarakat tidak akan mendapatkan pilihan pemimpin yang sesuai dengan kepentingan mereka. Pengangkatan pemimpin yang masyarakat nantikan ternyata hanya sebatas wacana. Justru masyarakat tidak mendapat informasi yang selalu di-update.
Permasalahan ini dimungkinkan besar terjadi karena semakin merebaknya dunia maya. Dalam setiap rumah, hampir seluruhnya memiliki handphone yang bisa digunakan untuk berinteraksi di dunia maya. Bahkan, terdapat sebagian masyarakat yang memiliki perangkat yang bisa digunakan untuk akses dunia maya .
Dengan menggunakan media maya, setiap orang dapat dengan mudah dan murah menyebarkan isu SARA dalam rangka menjatuhkan lawan poilitiknya. Mereka seakan tidak pernah memikirkan bahwa politik hanyalah wasilah agar seseorang dapat mengabdi kepada masyarakat. Padahal, untuk dapat mengabdi kepada masyarakat dengan baik, seseorang tidak harus memiliki jabatan di pemerintahan.
Lebih parahnya, saat ini masyarakat sudah banyak yang melek teknologi. Mereka akan dengan mudah mengabarkan informasi, padahal informasi tersebut belum tentu valid. Sering kali dari pengguna media maya adalah orang yang mudah terkena isu SARA. Mereka akan dengan mudah berpindah pilihan politik gara-gara perbedaan SARA yang ia ikuti.
Dalam rangka memerangi, atau setidaknya mengurangi, penyebaran isu SARA dalam pilkada, masyarakat mesti memproteksi diri dan keluarga jangan sampai termakan isu SARA. Ketika diri dan keluarga sudah terlindungi, tugas selanjutnya adalah menyadarkan masyarak sekitar untuk paham juga. Jika ini yang terjadi, maka (semoga) isu SARA dalam pilkada tidak lagi terwujud.
Wallahu a’lam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…