Kebangsaan

Demokrasi Spiritual: Sebuah Tawaran dari Penghayat Kepercayaan

Jalanan sudah kembali bersih. Aktivitas warga berangsur normal, dan suara bising unjuk rasa telah digantikan oleh deru lalu lintas seperti sedia kala. Secara fisik, krisis yang sempat membuat kita semua menahan napas itu seolah telah usai.

Namun, di balik ketenangan yang tampak ini, ada luka yang belum kering: retaknya kepercayaan antar sesama dan kesadaran betapa rapuhnya persatuan kita.

Kekacauan beberapa waktu lalu adalah puncak dari cara kita berpolitik yang sudah lama keliru. Sebuah politik yang lebih mengutamakan ego, sentimen kelompok, dan hasrat untuk berkuasa ketimbang dialog dan kepentingan bersama.

Kini, setelah semua tenang, pertanyaan terpenting adalah apa pelajaran yang bisa kita ambil? Kembali ke “business as usual” jelas bukan pilihan yang bijak.

Dalam pencarian jawaban, saya teringat perbincangan dengan Bambang Purnomo, seorang tokoh penghayat kepercayaan Sapto Darmo. Jauh sebelum kerusuhan pecah, ia sudah resah melihat gejala di masyarakat.

“Saya prihatin ya, karena masyarakat kita sekarang kok do saling ga punya etika ya. Pada ngolok-ngolok kiri kanan,” ujarnya.

Apa yang dulu terdengar seperti keluhan biasa, kini terasa sebagai diagnosis yang akurat atas akar masalah kita, hilangnya etika dan adab dalam berdemokrasi.

Ironisnya, saat masyarakat luas terbelah tajam karena perbedaan, komunitas Pak Bambang justru menunjukkan kedewasaan yang luar biasa. Ketika ada perbedaan pendapat di internal mereka soal pencantuman kepercayaan di KTP, tidak ada paksaan atau penghakiman.

“Yang tidak mau kita juga toleransi. Tidak apa-apa,” katanya. Sikap ini adalah contoh nyata bahwa perbedaan, bahkan yang menyangkut identitas, bisa dikelola dengan damai jika landasannya adalah saling menghargai.

Dari ajaran agama penghayat inilah muncul sebuah gagasan yang relevan untuk kita renungkan bersama, “demokrasi spiritual”.

Mendengar kata “spiritual”, sebagian orang mungkin langsung berpikir ini soal agama. Padahal, bukan itu intinya. Demokrasi spiritual, seperti yang dijelaskan Pak Bambang, adalah soal menjalankan demokrasi dengan landasan “nilai-nilai yang tergantung di dalam diri, bukan nafsu”.

Sederhananya, ini adalah ajakan untuk membawa kembali nurani atau hati nurani ke dalam setiap tindakan politik kita.

Menerapkan hal ini dalam kehidupan nyata sebenarnya tidak serumit kedengarannya. Perubahan itu bisa dimulai dari kebiasaan kita sebagai warga. Misalnya, dengan membiasakan diri untuk tidak langsung membagikan sebuah “berita panas” sebelum yakin akan kebenarannya.

Atau saat berdiskusi dengan teman dan tetangga yang berbeda pilihan politik, kita berusaha fokus pada argumennya, bukan menyerang pribadinya. Langkah-langkah kecil seperti ini secara kolektif dapat menurunkan suhu perdebatan di tingkat akar rumput.

Tentu saja, tanggung jawab yang lebih besar berada di pundak para pemimpin dan tokoh publik. Bagi mereka, demokrasi spiritual berarti memberi contoh keteladanan. Seorang pejabat tidak lagi melihat kritik sebagai serangan personal, tetapi sebagai masukan yang berharga.

Kebijakan yang akan dibuat pun tidak hanya dihitung untung-ruginya secara elektoral, tetapi juga ditimbang dengan saksama dampaknya bagi kelompok masyarakat yang paling rentan. Fokusnya harus bergeser secara fundamental, dari hasrat mempertahankan kekuasaan menjadi ketulusan untuk melayani.

Krisis kemarin adalah alarm yang sangat keras. Ia menunjukkan bahwa demokrasi kita tidak akan selamat jika hanya mengandalkan aturan main dan institusi formal. Kita butuh fondasi yang lebih kokoh, yaitu etika dan nurani para pelakunya.

Sekarang, saat kita diberi jeda dan ketenangan, adalah waktu terbaik untuk memulai. Mari bangun kembali demokrasi yang tidak hanya riuh di panggung politik, tetapi juga beradab dalam tindakan dan bijak dalam hati nurani.

Gagasan Pak Bambang bukanlah utopia, melainkan sebuah pengingat esensial. Di saat politik hanya dimaknai sebagai angka dan kursi, ia mengajak kita kembali ke fitrahnya: sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan nurani.

Demokrasi spiritual adalah panggilan untuk menghentikan saling hujat dan mulai mendengarkan suara hati yang berlandaskan nilai ketuhanan. Sebuah tawaran bijak dari akar rumput yang mungkin bisa menjadi obat bagi demokrasi kita yang sedang sakit.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Menyingkap Simpati Semu dalam Narasi Radikal

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,…

15 jam ago

Membedakan Demokrasi Gagal dan Cacat; Tantangan Kaum Radikal Memahami Politik Kontemporer

Dalam satu dekade belakangan, kondisi demokrasi global mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Hasil riset IEU…

15 jam ago

Menjaga Kedaulatan Rakyat dengan Tanggung Jawab : Belajar dari Konstitusi Madinah

Piagam Madinah merupakan sebuah dokumen penting dalam sejarah Islam yang digagas dan disusun oleh Nabi…

2 hari ago

Menyelamatkan Emosi Demokrasi dari Para Pembenci

Demonstrasi adalah salah satu jalan sah dalam demokrasi. Ia membuka ruang bagi rakyat untuk menyuarakan…

2 hari ago

Mengatasi Turbulensi Demokrasi; Benarkah Khilafah Adalah Solusi Tunggal?

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik tentu bukan ideal alias tanpa cacat. Demokrasi memiliki banyak potensi…

2 hari ago

Memitigasi Kekecewaan Rakyat agar Tidak Dieksploitasi Kelompok Kepentingan

Kekecawaan rakyat adalah sebuah bara, jika dibiarkan saja, bisa saja bisa membakar keutuhan sebuah bangsa.…

3 hari ago