Keagamaan

Demokrasi Vs Khilafah: Menguji Klaim Paling Islami?

Sampai detik ini, demokrasi selalu disudutkan ke dalam klaim-klaim yang buruk. Dipandang sebagai sesuatu yang di luar ajaran Islam dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Lalu menempatkan ajaran khilafah sebagai satu-satunya sistem ajaran jauh lebih islami dari sistem demokrasi.

Yang harus kita pahami, sebuah klaim bisa diterima kebenarannya, apabila relevan dengan fakta-faktanya. Jadi, janganlah membangun ketundukan buta atas sebuah tuduhan/klaim yang tak berdasar. Oleh sebab itu, kita perlu menguji keduanya, kira-kira mana yang lebih Islami? demokrasi atau kilafah?

Pertama, perihal khilafah. Tidak ada satu-pun ayat di dalam Al-Qur’an yang berbicara atau bahkan “minimal” menyebut istilah khilafah. Al-Qur’an hanya menyinggung tentang Khalifah. Tentu, antara khilafah dengan khalifah merupakan dua istilah yang berbeda sekaligus memiliki fungsi, maksud dan tujuan yang berbeda pula.

Logika etisnya, istilah “khilafah” saja tidak ada di dalam Al-Qur’an apalagi kata perintah untuk menegakkan khilafah? Bahkan jika kita lihat dari sisi fungsi dan tujuan. Khilafah bukan perintah Islam dan Islam tak pernah berbicara tentang itu. Al-Qur’an tak pernah menghendaki barang asing yang serat dengan tujuan busuk demi merebut kekuasaan itu.

Khilafah ini tak lebih dari sekadar tujuan politik yang membias pada romantisme kaum muslimin di masa lalu. Tujuannya untuk merebut kekuasaan, menghancurkan tatanan yang telah mapan, anti-keragaman dan tak menghendaki kebersamaan. Serta menegasi prinsip keadilan yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran Islam itu.

Dilihat dari fungi dan tujuan khilafah. Semua itu sangat bertentangan dengan apa yang dikenal sebagai ajaran Islami. Atau bertentangan dengan prinsip-prinsip ideal dalam membangun negara yang Islami itu. Jadi, jika diuji, tak ada satu-pun nilai-fungsi khilafah yang mengacu pada nilai Islam itu dan bahkan tak layak apabila klaim khilafah dianggap paling Islami.

Kedua, perihal demokrasi. Memang tidak ada istilah kata demokrasi di dalam Al-Qur’an. Tetapi, jika diuji dan dilihat secara fungsi dan tujuan. Demokrasi pada dasarnya jauh lebih Islami dibanding khilafah. Bahkan, fungsi dan tujuan demokrasi sangat relevan dengan fakta-fakta Al-Qur’an dalam membangun negara yang Islami.

Dalam konteks demokrasi, Saya begitu tertarik dengan kebenaran (Qs. Al-Ma’idah:48) bahwasanya: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu jadikan-Nya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan“.

Demokrasi itu pada hakikatnya semakin memperjelas akan realitas kita yang diciptakan berbeda. Lalu, demokrasi meniscayakan bahwa setiap kita, memiliki hak yang sama, tanpa memandang latar belakang perbedaan. Sebagaimana dalam mengangkat pemimpin, hak-hak memilih pemimpin adalah bagian dari hak kita bersama, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni berlomba-lomba dalam kebaikan.

Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan adalah bagian integral dalam setiap perhelatan demokrasi. Seperti dalam gelaran Pilpres atau Pilkada. Di mana, demokrasi meniscayakan hak/kebebasan memilih pemimpin lewat kotak suara dan ini masuk dalam konteks saling berlomba mengangkat pemimpin yang terbaik.

Bahkan, demokrasi yang sangat menjunjung keadilan itu sangat relevan dengan fakta-fakta Al-Qur’an. Seperti dalam (Qs. Al-Ma’idah:8) bahwasanya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak adil”.

Istilah saksi yang adil pada hakikatnya adalah kesadaran diri yang demokratis itu. Bahwa, prinsip berpikir, bersikap dan bertindak yang adil dalam mengangkat pemimpin. Itu sebagai satu kesadaran yang egalitarian. Bahwa, kita sepakat mengangkat pemimpin berdasarkan pada prinsip suara yang dominan sejatinya sebagai satu prinsip dalam menjadi penegak keadilan yang diperintahkan Al-Qur’an itu.

Jantung demokrasi itu adalah musyawarah. Tentu, Al-Qur’an dalam banyak hal, berbicara tentang musyawarah. Seperti (Qs. Asy-Syu’ara:38) bahwasanya: “Lalu dikumpulkanlah para pesihir pada waktu yang ditetapkan) pada hari yang telah ditentukan”. Dalam menyelesaikan segala kesesatan saja, Al-Qur’an memerintahkan untuk bermusyawarah atau berkumpul. Dan tentunya ini menjadi satu kesadaran penting di mana, demokrasi dengan semangat musyawarah dalam mengangkat pemimpin sebagai satu fakta demokrasi secara fungsi dan tujuan sangatlah selaras dengan nilai-nilai Islam dalam Al-Quran.

Dari semua pemaparan di atas tentu kita bisa menyadari. Antara demokrasi dan khilafah dalam konteks (membangun negara). Pada hakikatnya, demokrasi secara fungsi dan tujuan, sangatlah relevan dengan fakta-fakta kebenaran yang termaktub dalam Al-Qur’an.  Jauh berbeda dengan khilafah yang hanya terlihat Islami secara “cangkang” namun rapuh secara nilai, fungsi dan tujuan.

Sitti Faizah

Recent Posts

Panduan Menjadi Tokoh Agama di Era Serba Media

Di Indonesia, tokoh agama memiliki posisi strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Sebagai pemimpin spiritual, mereka…

3 jam ago

Menimbang Otoritas Ulama dalam Dakwah Dunia Maya

Era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara kita memahami dan…

20 jam ago

Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun…

1 hari ago

Menangkal Ancaman Terorisme Pasca Kejatuhan Bashar Assad Di Suriah

Peristiwa mengejutkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah yang dipelopori Hayat Tahrir-al-Sham (HTS) berhasil mengusai…

1 hari ago

Timbang-timbang ‘Sertifikasi Ulama’ di antara Urgensi dan Kontroversi

Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, ulama memiliki posisi penting dalam setiap lini…

1 hari ago

Influencer Dakwah; Pentingnya Integritas dalam Menerapkan Prinsip Moderat

Di zaman ini, seorang pendakwah yang populer mau tidak mau juga menjalani peran sebagai seorang…

2 hari ago