Narasi

Dengan atau Tanpa Corona, Kita Tetap Bergembira Menyambut Ramadhan

Ramadhan tahun ini mungkin berbeda dengan tahun sebelumnya. Perbedaan itu terletak pada mewabahnya virus Corona yang membuat manusia cemas dan takut. Akan tetapi, adanya Corona tidak mengurangi “cita rasa” Ramadhan itu sendiri. Ramadhan tetap kita masuki, puasa tetap wajib, dan kita tetap bisa bergembira menyambutnya.

Corona bukanlah penghalang untuk kita bisa beribadah. Malah dalam satu sisi, dengan adanya Corona justru membuat kita lebih khusuk beribadah. Tidak banyak godaan. Tidak banyak permintaan.

Kegembiraan tetapi bisa kita rasakan, sebab hal-hal yang substansial dari Ramadhan masih bisa kita laksanakan. Mulai dari puasa, sahur, salat taraweh sampai ke tadarusnya, semuanya tidak berkurang. Dan, Corona tidak mungkin menguranginya.

Yang berbeda mungkin, cuma dalam format pelaksanaannya. Jika Ramadhan sebelumnya, kita bisa berjamaah, berkumpul bersama. Kali ini harus dilakukan secara sendiri-sendiri. Beribadah dari rumah.

Beribadah dari rumah bukan berarti tidak bisa berjamaah. Kita masih bisa tarawih, witir, tadarus, sahur, dan berbukan bersama keluarga. Dalam satu hal, ini bisa memperkuat bangunan keluarga.

Menjauhi Provokasi

Yang harus diwaspadai adalah munculnya provokasi-provokasi atas nama agama dari kelompok dengan dalih Ramadahan. Ke-ngeyel-an untuk tetap melaksanakan salat tarawih berjamaah, tadarus, dan mudik, serta buka bersama akan banyak bermunculan.

Baca Juga : Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

Ini adalah tantangan baru dalam menanggulangai pandemi ini. Sebab Ramadhan secara potensial lebih memungkinkan orang untuk berkumpul dalam skala besar. Dalam konteks inilah, kita jangan sampai terperdaya oleh provokasi dan hasutan oleh sekelompok orang atas nama Ramadhan.

Kesucian Ramadhan harus tetap kita jaga. Jangan sampai nanti Ramadhan dituding sebagai biang kerok membesarnya penyebaran virus ini. Kita tak boleh gegabah dan arogan, apalagi itu atas nama ibadah puasa.

Sekarang di sosial media sudah mulai terlihat dengan jelas adanya sekelompok orang yang memprovokasi, bahwa kebijakan beribadah dari rumah itu adalah kebijakan anti-Islam dan upaya sistematis menjauhkan umat Islam dari masjid.

Narasi ini disebarluaskan dengan berbagai bentuk postingan, meme, video pendek. Belum lagi ada pernyataan, seolah-olah Ramadadhan adalah penangkal Corona. Jadi kita harus tetapi tarawih berjamaah, tadarus bersama, dan buka bersama. Sebab dengan itu –kata provokator—Corona akan hilang.

Provokasi “Ramadhan datang, Corona minggat” jangan dijadikan sebagai acuan dalam laku kehidupan. Tidak ada jaminan bahwa Ramadahan adalah penangkal. Pernyataan tadi harus kita letakkan sebagai doa dan harapan saja. Semoga Ramadhan membawa berkah, dan memotivasi kita untuk tetapi optimis melawan Corona.

Menahan Emosi Negatif

Cara terbaik untuk tidak terjerumus ke dalam kubangan provokasi, yang membuat manusia jadi orogan dan ngeyel –adalah dengan memaknai puasa sebagai wasilah untuk menundukkan nafsu dan emosi negatif.

Nafsu untuk memperlihatkan amal kebaikan dengan berusaha agar bisa berjamaah, dengan niat supaya dilihat orang, adalah nafsu yang berlebihan, yang perlu terus-menurus ditundukkan. Ditundukkan di sini adalah dikontrol agar sesuai dengan rel dan porsinya.

Datangnya Ramadhan harus kita maknai sebagai upaya maksimal dalam perang melawan Corona. Kita harus berpuasa dari caci-maki, hoax, rumor yang tak jelas. Puasa dengan menjaga jarak dari nafsu negatif, tetap di rumah, dan menjauhi infomasi yang merusak imunitas tubuh –adalah cara efektif dalam perang melawan Corona. Kita harus tetap bergembira menyambut Ramadhan ini. Kita jauhi provokasi, jaga jarak dari nafsu yang berlebihan, dan emosi negatif yang merusak. Kegembiraan kita dalam menyambut Ramadhan, semoga menjadi modal penting dalam melaksanakan kerja-kerja di atas.

This post was last modified on 20 April 2020 11:10 AM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Jihad Ekologis: Mengintegrasikan Moderasi Beragama dalam Penyelamatan Alam

Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…

2 jam ago

Menyikapi Isu Islam Politik vs Nasionalisme Jelang Reuni 212

Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…

22 jam ago

Menjual Khilafah di Tengah Banjir: Menggugat Nalar Kaum Fatalis dalam Memandang Bencana

Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…

22 jam ago

Tafsir Ayat-Ayat Ekologi; Membangun Kesalehan Lingkungan Berbasis Alquran

Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…

22 jam ago

Kampanye Khilafah di Momen Bencana; Dari Krisis Ekologis ke Krisis Ideologis

Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…

2 hari ago

Menjadi Khalifah di Muka Bumi: Melindungi Alam dari Penjahat Lingkungan, Menjaga Kehidupan Umat dari Propaganda Radikal

Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…

2 hari ago