Narasi

Deradikalisasi dalam Kurban

Nabi Ibrahim bukan perkara gagal dalam menyembelih putranya yang bernama Ismail. Nabi Ibrahim sukses “menyembelih” rasa ego kepemilikan atas Ismail yang itu, hanya mutlak milik Tuhan. Begitu juga, Tuhan tidak ingin membenarkan konsep ketakwaan dengan perilaku membunuh.

Dari sini kita bisa memahami, bahwa ada bentuk-bentuk deradikalisasi dalam spiritualitas kurban. Sebab, segala perilaku radikal/kezhaliman itu selalu diawali dengan pembenaran atas ego diri. Merasa dirinya sebagai pihak yang paling benar, mudah menghakimi dan membenarkan kezhaliman dengan ego dirinya sendiri.

Segal hal yang sifatnya “ke-aku-an” (ego diri) dalam bentuk perilaku menghakimi dan merasa benar itu hanya kemutlakan milik Tuhan. Bentuk deradikalisasi ini pada dasarnya akan melahirkan yang namanya “self-kesadaran” diri yang lebih inklusif dan egalitarian atas perbedaan-perbedaan. Sehingga, nilai spiritualitas pada dasarnya meniscayakan bentuk ketakwaan yang lebih eksklusif yang bisa menyembelih sifat merasa paling benar itu.

Sejarah spiritualitas kurban ini pada dasarnya Tuhan membangun semacam proses “penetralan”. Yaitu untuk menundukkan ego diri yang sering-kali memberontak segala pranata sosial, lalu membenarkan kezhaliman. Karena ego diri itu adalah perangkat lunak seseorang mudah menjadi radikal. Maka, ketika kita menyembelih perangkat lunak itu, niscaya seseorang akan alergi dengan sifat/sikap radikal semacam itu.

Hal fundamental yang juga perlu kita sadari dalam spiritualitas kurban. Tuhan tampaknya tidak ingin menjadikan perilaku menyembelih manusia sebagai basis ketakwaan yang akan dibenarkan dalam sepanjang sejarah agama dalam kehidupan umat manusia setiap saat. Ini merupakan satu fakta teologis, bahwa Tuhan tak sekadar menghendaki pembunuhan/menyembelih manusia, melainkan membangun solusi etis tanpa membunuh.

Kemantapan berpikir bahwa Tuhan tidak pernah menjadikan perilaku membunuh sebagai solusi keagamaan. Tampaknya juga dijelaskan dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, seperti dalam Qs. al-Anbiya’:107, juga terdapat dalam Qs. Al-Maidah:32 dan Qs. al-Nisa’:93 dan ada beberapa ayat lain yang korelatif dengan larangan membunuh manusia. Sehingga, ketetapan ayat-ayat larangan membunuh dan dikuatkan dengan sejarah spiritualitas kurban, tampaknya kita akan semakin mantap menyadari bahwa menjaga kemanusiaan merupakan hal fundamental dalam beragama.

Sebagaimana yang Saya sebutkan di atas. Bentuk-bentuk deradikalisasi dalam nilai spiritualitas kurban membangun semacam perbandingan, ketika Ismail diganti dengan hewan agar disembelih dijadikan kurban. Hal ini pada dasarnya menjadi semacam tolak-ukur bagi kita untuk menyadari, bahwa nyawa manusia itu jauh lebih berharga, tak ternilai dan tidak ada kebenaran agama yang membenarkan perilaku membunuh.

Semua yang menjadi dasar di balik perilaku membunuh dan berlaku zhalim kelompok radikal itu bukan kebenaran agama. Tetapi, kebenaran ego diri dalam beragama dan di sinilah alasan teologis, mengapa Tuhan perlu menyucikan rasa ego diri dalam bentuk “sikap kepemilikan” yang berlebihan atas Ibrahim, karena segala kepemilikan dan sifat ke-aku-an itu hanya miliki Tuhan semata.

Titik penting dari nilai spiritualitas kurban sebetulnya menjadi semacam “deradikalisasi” di tengah realitas maraknya perilaku pembunuhan yang dibangun dengan doktrin agama oleh kelompok radikal. Sebab, cara kita agar tidak mudah terkontaminasi doktrin kelompok radikal atau agar kita bisa mereduksi pola-pikir radikal. Kita perlu menyembelih yang namanya rasa ego diri yang meniscayakan “sifat aku” dalam perilaku merasa paling benar agar dimusnahkan dalam diri kita sendiri.            

Oleh karena itu, kita harus menyadari nilai spiritualitas kurban itu. Pada dasarnya adalah “obat” bagi penyakit radikal. Karena bentuk deradikalisasi dalam spiritualitas kurban pada dasarnya mencoba mencabut akar dari pola-pikir radikal itu. Yaitu menyembelih rasa ego diri yang sering-kali melahirkan “rasa aku” yang paling benar dalam beragama, agar dimusnahkan dengan ketundukan teologis yang lebih menyadari bahwa segala kebenaran, hak penghakiman, atau-pun kepemilikan atau hak ke-kemutlakan memutuskan sesuatu hanya milik Tuhan.

This post was last modified on 29 Juni 2023 9:34 AM

Saiful Bahri

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

22 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

22 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

22 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago