Kebangsaan

Deradikalisasi di Sekolah : Membangun Kultur Moderasi Ala SMA Kusuma Bangsa

Radikalisasi sering-kali tumbuh di lembaga pendidikan karena culture intoleransi yang menjalar di lembaga pendidikan. Seperti kasus pemaksaan jilbab atas siswi non-muslim, larangan pilih ketua OSIS non-muslim, tepuk Pramuka Islam Yes, Kafir No!. Hingga kasus pembotakan rambut siswi oleh gurunya karena tidak menggunakan ciput/dalaman jilbab.

Fakta intoleransi di lembaga pendidikan sekolah pada dasarnya akan menjadi “watak” bagi generasi muda. Mereka akan memiliki pandangan keagamaan yang condong anti-perbedaan, selalu eksklusif dan brutal ketika dihadapkan dengan perbedaan. Mereka akan bersifat permisif dan reductionism atas perbedaan yang dianggap perlu dimusnahkan akibat cerminan intolerant semacam itu. 

Maka, dari sinilah pentingnya menyelamatkan generasi emas bangsa kita. Dengan membangun culture sekolah yang berwawasan moderasi ala SMA Kusuma Bangsa di Palembang. Mengapa? karena di sekolah ini, anak-anak tidak sekadar diajarkan tentang toleransi, tetapi (merealisasikan culture) toleransi itu sendiri. Melalui penyediaan fasilitas tempat ibadah bagi semua agama untuk siswa/i-nya yang berbeda-beda secara keyakinan.

Culture moderasi yang dibangun di SMA Kusuma Bangsa ini mencoba mencerminkan kehidupan umat beragama yang penuh kebersamaan secara harmonis dan rukun. Praktik ini diikuti dengan kebiasaan saling sapa dengan senyum, saling merangkul dan dibimbing untuk tetap bersama meskipun tak sama secara agama, seperti mereka makan bersama tanpa melihat perbedaan agama.

Mereka diajarkan untuk mengikat kebersamaan berdasarkan keyakinan yang mereka miliki masing-masing tanpa diskriminasi atau-pun saling mengganggu. Di situlah toleransi tak sekadar teori, tetapi ter-representasi dalam perilaku keseharian yang ditanam secara subur sejak di bangku sekolah. Hal ini sebetulnya akan menjadi vaksin untuk “membunuh sel” radikalisme-terorisme itu dengan memerdekakan anak-anak generasi emas bangsa, dari segala macam motif intoleransi yang menjalar di sekolah.

Ini dari keteladanan sekolah dengan basis culture moderasi bergama di SMA Kusuma Bangsa ini bukan mengacu pada (tempat ibadah semua agama itu). Tetapi, praktik moderasi secara kultural yang tertanam tak sekadar sebagai pemahaman, tetapi direfleksikan dalam bentuk perilaku atau berkelindan atas segala aktivitas, baik di sekolah, di luar sekolah ketika bermain, hingga di rumah.

Paradigma semacam inilah yang sejatinya harus menjadi teladan penting bagi sekolah lainnya untuk merepresentasikan kultur toleransi di lembaga pendidikan itu. Misalnya, mengajarkan anak-anak di sekolah tentang bagaimana hidup di tengah keragaman untuk tetap harmonis, tidak saling menyinggung, tidak saling menyakiti dan tetap dalam persatuan. Juga, membiasakan anak-anak ber-interaksi, ber-komunikasi aktif dan merealisasikan kekeluargaan kecil yang ramah perbedaan di sekolah.

Artinya, pendidikan moderasi di sekolah tak sekadar tertanam di mata pelajaran mereka yang bisa kapan saja lupa. Karena, moderasi beragama di sekolah perlu menjembatani secara kultural dalam aktivitas keseharian anak-anak, baik di sekolah atau-pun di luar sekolah. Membiasakan mereka membangun kekeluargaan dengan mereka yang berbeda secara agama akan membuat mereka terbiasa, menjadi nyaman, tertanam sebagai watak dan menjadi kebiasaan secara kultural, mereka para generasi emas bangsa akan aktif dan progresif dalam menjembatani kehidupan sosial yang saling menghargai.  

Toleransi yang kokoh dalam kultur siswa yang ada di SMA Kusuma Bangsa di Palembang ini sejatinya menjadi satu paradigma deradikalisasi itu terbangun kuat di sekolah. Tentunya, bukan perkara fasilitas tempat ibadah bagi semua umat agama, tetapi hal yang menjadi point penting adalah prinsip moderasi itu bisa menjadi prinsip, perilaku sosial dan sebagai kebiasaan anak-anak dalam berinteraksi, ber-komunikasi dan menjalin hubungan baik antar siswa/i yang berbeda secara agama.

Membangun kultur moderasi di lembaga pendidikan adalah satu bentuk deradikalisasi yang paling penting untuk dibangun. Karena, ini selain membuat anak-anak terbiasa dengan kebersamaan di tengah perbedaan secara harmonis yang diajarkan di sekolah. Juga, anak-anak akan merasa nyaman dan menjadikan kebersamaan secara harmonis di tengah perbedaan tanpa saling mengganggu sebagai (orientasi hidup) kelak ketika di masyarakat.

This post was last modified on 13 September 2023 2:26 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

3 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago