Narasi

Desakralisasi Politik; Memahami Pilpres Sebagai Urusan Profan, Bukan Sakral

Belakangan ini di media sosial tengah viral video artis kenamaan Kartika Putri yang menyatakan bahwa ia ingin mendengar para capres mengaji. Siapa capres yang paling merdu mengaji, maka itulah yang seharusnya dipilih.

Ia berkeyakinan bahwa orang yang suaranya merdu dalam mengaji, terbiasa membaca Alquran kemungkinan besar bijaksana, amanah, hatinya lembut tidak keras, memikirkan rakyat, takut dengan Allah, dan takut melakukan hal-hal dzalim.

Video itu viral dan mendapat respons beragam dari masyarakat. Sebagian besar netizen kontra dengan pernyataan Kartika tersebut. Mayoritas netizen beranggapan bahwa memilih capres idealnya tidak hanya didasarkan pada kemampuan mengajinya.

Melainkan didasarkan pada pertimbangan banyak aspek. Kemampuan mengaji, bukanlah faktor utama seseorang bisa menjalankan peran kepemimpinannya dalam struktur tertinggi pemerintahan.

Pernyataan Kartika itu viral karena dia merupakan sosok figur publik dengan banyak pengikut di media sosial. Jika kita melihat ke bawah, ada banyak masyarakat yang memiliki pendapat yang nisbi sama. Misalnya ada sebagian masyarakat yang meyakini bahwa jika tidak memiliki capres tertentu, maka keislamannya dipertanyakan.

Fenomena yang seperti itu menandai bahwa sebagian masyarakat kita masih menganggap urusan politik, termasuk memilih wakil atau pemimpin rakyat itu sebagai urusan sakral. Dalam artian, urusan politik itu erat kaitannya dengan dimensi keagamaan.

Sakralisasi politik itu cenderung problematik lantaran melahirkan klaim-klaim bombastis yang kental dengan nuansa politisasi agama. Misalnya, klaim bahwa capres tertentu adalah yang paling memahami Islam dan paling berkomitmen memperjuangkan umat. Di balik klaim itu, ada narasi tersembunyi yang secara implisit ingin mengatakan bahwa capres lain tidak paham Islam dan tidak memperjuangkan umat.

Sakralisasi politik ini dilatari oleh ketidakpahaman masyarakat dalam membedakan antara hal yang sifatnya sakral (sacred) dan hal yang bersifat profan (prophane). Ketidakpahaman ini lantas membuat masyarakat kerap mencampuradukkan antara urusan sakral dan profan. Yang profan kerapkali disakralkan, sebaliknya yang sakral justru sering diprofankan.

Menempatkan Politik di Wilayah Profan

Membedakan antara sakral dan profan sebenernya sangat mudah. Segala urusan yang menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan dalam perspektif keagamaan itu sakral. Sedangkan segala urusan yang tidak ada kaitannya dengan agama dan Tuhan, atau sebatas relasi sosial antar-manusia itu sifatnya profan.

Maka, memilih imam sholat itu sifatnya sakral, karena berurusan dengan ibadah, dan ada ketentuannya salam kitab fiqih. Namun, memilih ketua panitia renovasi masjid misalnya itu urusan profan yang tidak ada kaitannya dengan agama. Cukup kita memilih sosok yang paham dengan persoalan renovasi bangunan, memahami keuangan, bisa memimpin tim, dan dapat dipercaya.

Demikian pula dalam soal politik, termasuk memilih wakil rakyat atau presiden. Pemilu dan Pilpres itu urusan profan, dan tidak perlu disakralkan. Bagaimana masyarakat memilih wakil dan pemimpinnya itu bukan urusan keagamaan yang perlu disakralisasi.

Fakta menunjukkan bahwa seseorang yang saleh secara individual dalam keagamaan tidak selalu memiliki kompetensi dan integritas untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin. Kita melihat sendiri berapa banyak koruptor yang dalam kesehariannya tampak saleh; rajin beribadah, rutin berkunjung ke ranah suci, dan merdu dalam mengaji.

Dalam konteks ini, relevan kiranya gagasan Nurcholish Madjid tentang desakralisasi politik dan gagasan Kuntowijoyo tentang demistifikasi politik. Gagasan desakralisasi politik yang digagas Cak Nur intinya adalah mengembalikan politik pada khittohnya sebagai urusan profan.

Jargon yang terkenal kala itu adalah Islam Yes, Partai Islam, No. Makna jargon itu adalah bahwa Islam seharusnya tidak dijadikan sebagai komoditas politik untuk meraih suara di Pemilu. Berpolitik, menurut Cak Nur idealnya murni menjual gagasan bukan sentimen keagamaan.

Sedangkan ide demistifikasi politik ala Kuntowijoyo adalah upaya memisahkan politik dengan unsur-unsur irasionalitas seperti takhayul, mistik, dan sebagainya. Gagasan ini muncul karena masih banyak masyarakat yang memilih pemimpin berdasarkan pada kharismanya, kemampuan spiritual, dan hal-hal irasional lainnya.

Desakralisasi dan demistifikasi politik adalah gagasan yang relevan dengan situasi politik kita hari ini. Kita perlu memposisikan politik sebagai urusan profan dan lepas dari unsur mistik. Dengan begitu, Pilpres dan Pemilu akan steril dari sentimen fanatisme dan kultus individu secara berlebihan terhadap para figur capres dan cawapres.

This post was last modified on 1 Februari 2024 3:08 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago