Perhelatan pesta demokrasi lokal pilkada serentak 2018 sudah dilalui bersama. Tahun ini ada 171 daerah yang melaksanakan pilkada. Kita patut mensyukuri karena dilaksanakan secara damai, aman, tentram dan sejuk. Tentu saja model seperti ini sangat diimpikan oleh publik. Dengan melaksanakan secara damai, maka substansi demokrasi benar-benar dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya, jika demokrasi dijalankan dengan berbagai kecurangan, rusuh, kisruh, dan sejenisnya, itu merongrong makna demokrasi substansial. Padahal, pilkada merupakan pesta rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.
Setelah pilkada terlaksana, pekerjaan rumah calon dan masyarakat bukan lagi seleberasi kemenangan. Melainkan menjaga stabilitas dan kondusifitas aras lokal. Sebab, dengan menjaga kondisi tetap tenang lah sebenarnya tugas utama kandidat dan publik. Melakukan seleberasi kemenangan merupakan bentuk pendegradasian atas apa yang telah dilaksanakan dalam proses demokrasi. Pasalnya, menyeleksi pemimpin melalui hajatan demokrasi bukan berarti mencari pemenang dan mengabaikan yang kalah, melainkan mencari yang terbaik diantara yang baik demi terciptanya kesejahteraan rakyat.
Kandidat yang didaulat menjadi pemimpin adalah pemimpin semua rakyat. Bukan pemimpin yang memilih atau pendukungya. Jadi menjadi ironi ketika poendukungya merasa menang ketika yang dipilihnya menjadi pemimpin. Naasnya lagi, tidak jarang pendukungya melakukan konvoi hanya untuk menunjukkan kandidat yang didukung menang. Padahal, melakukan hal seperti itu hanya membuat kondisi pasca pilkada tidak kondusif. Sebagai pihak yang kalah akan merasa terhina jika kemenangan diekspresikan dengan berlebih-lebihan. Karenanya, alangkah baiknya apabila hasil pilkada dilakukan dengan cara-cara yang elegan tanpa memancing emosi yang kalah.
Publik sudah jenuh disuguhkan dengan berbagai seleberasi politik yang mengabaikan kedamaian dalam berdemokrasi. Lahirnya dua kutub pasca pemilihan menjadi hal yang memilukan. Sebab, itu menandakan bahwa pilkada tidak diakselerasi sebagai bentuk pesta rakyat, melainkan sebagai bentuk memperuncing permusuhahan.
Namanya pesta demokrasi, memang harus dilaksanakan dengan kegembiraan dan suka cita layaknya pesta rakyat. Tidak mungkin dinamakan pesta jika dilakukan dengan kerusuhan, pertengkaran, peremusuhan dan lain sebagainya. Dengan berpesta, itu artinya merayakan, bukan membenturkan atau menyalahkan. Singkatnya, jika pesta demokrasi dilakukan dengan ketakutan, intimidasi, itu bukan pesta rakyat, tapi petaka bagi rakyat.
Pesta demokrasi merupakan kunci untuk menjalin tali silaturahmi. Demokrasi sebagai alat untuk memperkuat kemakmuran. Sebagaimana yang diungkapkan sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres beberapa waktu lalu, demokrasi merupakan alat untuk menjamin kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Oleh sebab itu, demi menciptakan kestabilan dan kedamaian pasca pesta demokrasi, harus ada dialog antar kandidat dan kandidat (kelas atas), antar tim sukses (kelas menengah), antar pendukung (kelas bawah). Pertama, dialog antar kandidat. Dialog model ini harus diinisiasi oleh antar kandidat. Tujuannya agar pendukung di berbagai pelosok tidak melakukan caci maki, intimidasi, dan berbagai serangan kepada lawan yang kalah. Dialog demokrasi antar kandidat ini juga berfungsi untuk mendidik publik. Kita boleh beda pilihan dan pandangan, namun pasca pilkada kandidat yang berkontestasi tetap rukun.
Kedua, dialog kelas menengah. Dalam dialog ini, tim sukses yang menang harus melakukan komunikasi dengan tim sukses yang kalah. Sama seperti yang pertama, tujuannya agar pendukung tidak lagi ribut dan berdebat hasil pilkada. Dialog ini juga berfungsi untuk meminta saran, ide, dan lainnya kepada tim sukses yang kalah terkait aspirasi pendukung yang kalah agar dapat disampaikan kepada kandidat yang menang..
Ketiga, dialog kelas bawah. Bentuk dialog ini dilakukan antar pendukung. Ini bisa dilakukan oleh ketua tim pendukung. Ketua kelompok pendukung harus mendorong agar semua pendukung harus berbaur dalam menerima kemenangan dan kekalahan. Tim pendukung harus memaknai bahwa kemenangan paslon merupakan kemenangan semua rakyat, bukan kemenangan salah satu pendukung. Disinilah pentingnya ke-legawa-an pendukung untuk melakukan dialog dinantikan.
Selain dialog-dialog di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah peran organisasi kemasyarakatan dan keagamaan untuk menjadi penengah antar pendukung. Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang ada, harus menjadi soko utama untuk menyamakan persepsi di kalangan pendukung. Ormas keagamaan juga harus memberikan pendidikan politik yang baik agar antar pendukung bisa menjadi lebih dewasa. Dengan begitu, kedamaian pasca pilkada akan terus terpateri di tengah-tengah masyarakat.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…