Narasi

Digital Dakwah; Pendekatan Urban Sufistik

Memasuki era disrupsi 4.0 perkembangan tekhnologi digital semakin menggeliat tidak terbatas, menembus sekat-sekat budaya dan tradisi masyarakat. budaya digital tersebut telah menghantarkan masyarakat pada iklim kehidupan yang urban, mekanik, dan paradigma kehidupan yang serba pragmatis, bahkan infiltrasi budaya dan tata nilai asing lebih intens dan masif merongrong identitas kepribadian bangsa, dan moral agama, melalui media-media sosial, mengutip Mike Featherstone, dunia yang mendigitalisasi masyarakat dengan konsumtivisme dan pemiskinan spiritual.

Media-media sosial tersebut namun juga bisa digunaka untuk menyiarkan ideologi-ideologi keagamaan di tengah jamaknya perseteruan teknologi di era cyber (cyber era). Pendekatan dakwah digital satu-satunya arus informasi komunikatif yang fleksibel untuk menarik perhatian masyarakat perkotaan dengan hiruk pikuk dinamika yang terjadi di dalamnya. Persoalan globalisasi tidak hanya berhenti pada titik wilayah ekonomi dan industri akan tetapi juga merangsek ke budaya, sosial, dan agama.

Geliat dakwah digital sungguh tidak asing lagi di negara manapun tidak terkecuali di Indonesia. Kehidupan modern yang serba mekanik bisa membuat masyarakat terhuyung-huyung bahkan menggelinding ke tengah pergolakan ideologi pengetahuan agama yang menyesatkan, parsial dan terpotong-potong. Tentu ada sisi negatif dan positifnya, semua harus dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan guna mewujudkan dakwah Islam yang lebih efektif, efisien, dan mengglobal. Pengguna internet jika dikalkulasikan secara grafis maka cenderung lebih diminati oleh kaum muda, kaum milenial, dan masyarakat yang lebih berpendidikan. Sekitar 50 % di antara pemakai internet tergolong actualizers, kalangan akademik, profesional, dan technically oriented. Sehingga pertanyaan besar ditulis oleh Jeff Zaleski (1999) masihkan mesjid-mesjid, gereja, dan tempat-tempat ibadah menjadi rumah paling menyenangkan untuk beribadah, ataukah masyarakat sudah mulai menyeburkan diri kedalam dunia maya.

Seiring kemajuan dan perkembangan zaman gerakan urban sufisme, yang disebut oleh Oman Fathurahman sebagai fenomena sufisme di perkotaan (urban sufism) harus bisa lentur dan beradabtasi dengan tradisi yang berkembang, sebab ajaran sufi selalu dimaknai dengan gerakan yang lentur, tidak kaku, toleran, holistik, dan akomodatif terhadap keragaman faham keagamaan. Sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan. Kesadaran terhadap dimensi spiritualitas Islam kaum modernis ini mengambil spirit sufisme pada umumnya, tetapi mereka menegasikan berbagai hierarki ajaran tarekat. Karena itu, di kalangan kelompok urban sufisme dikenal jargon “bertasawuf tanpa tarekat”.

Baca Juga : Membumikan Teologi Kebergamaan Toleran-Moderat

Titik munculnya sufi modern di Indonesia tidak lepas dari muculnya buku Tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka (1939) kemudian dikenalkan pertama kali oleh Julie. D. Howwel (2003) yang diwakili kelompok Kelas Menengah Perkotaan dari latar ideologi neo-modernisme hatta bermunculan gerakan-gerakan kelompok sufisme yang berupaya dalam mengobati hati atau jiwa manusia (tāzkīyātu an-nāfs), dengan cara pengenalan ajaran-ajaran tasawuf oleh lembaga-lembaga spritual yang berbeda dengan dunia tasawuf konvensional. Gerakan ini tidak terikat dengan organisasi atau tarekat-tarekat tertentu laiknya berjalan dengan sealami mungkin yang mengikuti alur kehidupan masyarakat modern.

Eksistensi dakwah adalah untuk menyiarkan ajaran agama Islam, nilai-nilai agama Islam tertinggi ada dalam ilmu tasawuf. Ilmu ini muncul sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Kontekstualisasi ajaran dan nilai Islam dalam kehidupan masyarakat adalah salah satunya dengan cara berdakwah. Dakwah disini cakupannya sangat luas bahkan pengertiannya juga sangat universal. Maka pengembangan dakwah ajaran tasawuf modern memiliki haluan yang berbeda dari masa ke masa. Perlu adanya rekonstruksi konsep dakwah yang selama ini berkembang di masyarakat.

Salah satu model dakwah Wali Songo di Nusantara adalah contoh yang bombastis dalam sejarah pengislaman di tanah Jawa. Pendekatan dakwah tasawuf modern kontekstualisasinya sangat mirip, tidak saling menyerang kelompok-kelompok tertentu, tidak mengecam prilaku masyarakat yang tidak baik, tidak membawa seperangkat ajaran baru yang sangat asing bagi masyarakat sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam formulasi, pendekatan maupun metodologis.

Satu bentuk model dakwah digital ini tidak statis karena dakwah dalam arti yang lebih luas sangat kompleks, dimana tradisionalis mengarah kepada modern, dari pedesaan menjadi urban, dari yang gagap tehknologi menjadi masyarakat teknologi, dari yang teologis-tradisionalis menjadi liberal bahkan sampai radikal. Pasalnya fenomena tersebut mengakibatkan kesenjangan antara pendakwah dengan realitas dan kondisi sosiokultural yang membuat silangsenkarut antara pendakwa dan masyarakat yang menganggap dakwah difungsional belaka.

 Maka model pendekatan dakwah digital adalah sarana mengembangkan ajaran tasawuf modern dengan spirit tasawuf konvensional yang murni. Pertama, adalah menebarkan ajaran-ajaran hikmah di media sosial, sebagaimana al-Qur’an menyeru bīl hikmāh wā jādīlhum billātī hīya ahsān. Di tengah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota–kota lain masyarakat merasa sudah kekeringan spritual ia merasa sangat terasing dari Tuhan, sehingga mereka mencari ketenangan jiwa, hati, dan pikiran lewat majlis-majlis dzikir, halaqoh-halaqoh khatmil al-Qur’an, shalawat nabi dan yang lainnya. Dakwah yang lebih teduh menentramkan hati menjadi pilihan masyarakat, majlis-majlis dakwah seharusnya sebagai oase kehidupan yang menyegarkan hati memompa spirit iman dan pengetahuan tentang agama Islam.

Kedua, masyarakta tidak dikotak-kotakan dengan polarisasi berdasarkan identitas dan kelas-kelas, merangkut semua masyarakat, baik dari kalangan pelaku maksiat atau tidak semua dianggap sama selagi ingin bertaubat karena ampunan Allah itu sendiri sangat luas tidak terbatas. Banyak yang menebarkan dakwah di media sosial dengan konten-konten yang provokatif mengecam kelompok-kelompok tertentu atau menjelek-jelekkan kelompok-kelompok tertentu, model dakwah tasawuf modern ini menjadi penengah bahkan menghindari hal itu terjadi. Dalam ilmu tasawuf tidak ada yang saling menyesatkan serta memperebutkan kesalehan spiritual di mata Tuhan.

Ketiga, tidak membuat konten dakwah itu jelimet dan sulit diterima oleh masyarakat secara umum, tidak terikat dengan konsep legal-formal, tampa harus melalui guru tarekat, tidak harus melalui baiat dan tidak ada yang meminta masyarakat untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu setiap harinya. Murni model dakwa ini sebagaimana yang dikatakan Julia Day Howell sebagai lahirnya gairah spiritualitas masyarakat Kelas Menengah Perkotaan di Indonesia.  Bahkan masyarakat tradisionalis juga merasakan gairah itu sebagai bentuk sesuatu yang baru dan nyaman dalam kehidupan beragama mereka. Untuk saat ini perkembangan tehknologi tidak hanya diserap oleh masyarakat perkotaan, arus informasi digital dan media sosial sudah telah menjadi gaya hidup baru dan tak terkecuali oleh masyarakat pedesaan. Tidak bisa mengklaim masyarakat yang jauh dari kota masih buta informasi karena digitalisasi merambat masuk ke pelosok-pelosok desa terpencil sekalipun, sebab itulah geliat dakwah digital mesti disentuh dengan aspek-aspek spritual yang berbau sufistik, dari sinilah semangat dakwah sufisme ditularkan dalam bentuk model yang lebih aktif dan modern.

Pada Konferensi Ulama Sufi Internasional atau Mūltaqā Sufi Al-Ālamy di Pekalongan pada tanggal 8 April 2019 kemarin mengajak kepada para sufi dunia untuk mewarnai media sosial dengan dakwah pendekatan-pendekatan sufiistik yang positif dan penuh hikmah. Kementerian Agama Republik Indonesia hadir dan menegaskan bahwa, generasi digital harus memahami. Sufisme tidak hanya berkontribusi dalam pembinaan keagamaan, partisipasi sosial dan kenegaraan, tetapi juga berandil besar terhadap penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia.  Sebab itu, mengingat pengalaman sejarah, Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, antara lain melalui tangan para ulama sufi. Generasi milenial harus tahu jika para ulama sufi menyebarkan Islam dengan akhlak yang mulia yang melahirkan Islam yang rahmātan lil ālamīn.

This post was last modified on 18 November 2019 12:23 PM

Jamalul Muttaqin

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago