Kebangsaan

Dor-Doran, Pengajian, dan Moderasi Beragama

Sepertinya bulan Ramadhan memang bulan yang sarat dengan pendamalan pengetahuan dan pengalaman keagamaan, yang salah satu di antaranya lewat pengajian. Pengajian adalah jelas istilah yang khas Jawa. Seandainya banyak orang selalu menghubungkan pengajian dengan agama atau pembelajaran dan pendalaman wawasan keagamaan, dari perspektif budaya Jawa ternyata pengajian dapat tak ada kaitannya sama sekali dengan agama.

Dalam bahasa Jawa, istilah pengajian dapat diartikan sebagai penegakkan nilai-nilai karena akar kata istilah itu adalah “aji” yang bermakna sesuatu yang berharga, dihargai, yang sepadan dengan nilai-nilai. Sedangkan dalam basa krama atau bahasa halus istilah pengajian itu kerap disebut pula sebagai pengaosan yang pada dasarnya merupakan kata kerja pasif, ngaos. Ketika dirubah menjadi kata kerja aktif, maka istilah ngaos itu akan menjadi maos atau membaca. Jadi, dari istilah pengaosan terkandung makna tiadanya otonomi atau independensi diri yang mutlak atau orang-orang yang mengikuti pengaosan itu sekedar menjadi subyek-subyek yang pasif. Pengaosan inilah yang sebenarnya dekat dengan pengertian pengajian di hari ini yang berkaitan dengan agama. Bukankah konon kabar-kabar agama itu hadir untuk sekedar diamini, diiyakan atau di-sendika-dhawuhi? Dan bukankah istilah “aji” dalam istilah pengajian diterapkan pula pada raja, Kanjeng Dewa Aji, Agama Ageming Aji, yang konon segala sabdanya setingkat dengan sabda para pandita yang mesti diamini?

Satu tradisi di bulan Ramadhan yang masih dapat ditemui sampai hari ini adalah tradisi “dor-doran” atau dolanan sejenis meriam. Fungsi dor-doran ini, selain sebagai penanda waktu menjelang berbuka puasa, adalah juga sebentuk selebrasi atas sebuah kemenangan seperti petasan dan balon-balon dolanan.

Paling tidak terdapat dua macam dor-doran, yang terbuat dari bambu dan, yang sudah mulai menghilang di pedesaan, dipendam dalam tanah yang lebih dikenal sebagai dor-doran pendeman. Kedua macam dor-doran ini sama-sama menggunakan karbit yang kemudian dikasih sedikit air dan lantas disulut dengan api. Dari segi bunyi, dor-doran yang berbahan bambu akan terdengar cempreng dan dor-doran pendeman, karena teredam, akan terasa gandem.

Seperti gambaran laku beragama dan syiar keagamaan, kedua dor-doran itu seolah-olah juga merepresentasikan dua macam suara beragama. Ada yang radikal, menyalak, meledak-ledak seperti dor-doran bambu, namun cempreng, ampang atau tak berbobot sehingga perlu berkali-kali dibunyikan untuk mencapai efek yang menuntaskan. Adapula yang cukup sekali-duakali untuk dibunyikan namun ternyata cukup gandem, menggetarkan dan otomatis menuntaskan seperti dor-doran pendeman yang lazimnya bergema tepat pada saat berbuka puasa.

Di kala Ramadhan seperti itu biasanya dor-doran bambu memang lebih jamak ditemui. Barangkali, orang memang suka pada hal-hal yang keras, gemebyar, yang sangat menonjol atau benar-benar menampakkan diri, yang murah meriah—meskipun pada dasarnya cukup dissonan di kuping dan sama sekali tak menggetarkan hati. Cukup berbeda ketika dahulu dor-doran pendeman masih popular, suara yang dihasilkan dan suasana yang terbentuk adalah seperti yang diungkapkan dalam pepatah latin: “mysterium tremendum et fascinosum.”

Gandem jelas-jelas adalah kualitas suara yang berlawanan dengan suara cempreng atau ampang (tak berisi). Untuk menghasilkan suara yang gandem atau berbobot, tradisi Jawa mewariskan kiat sebagaimana dor-doran yang mesti dipendam dalam tanah. Jadi, ketika terdapat banyak dor-doran yang begitu meledak-ledak hingga memekakkan telinga, apalagi kerap berbunyi, maka sudah barang tentu dor-doran itu bukanlah dor-doran pendeman atau sama sekali belum pernah dipendam dalam tanah. Maka, jangan berharap dor-doran semacam itu akan benar-benar menggetarkan bumi, mampu mengantarkan pada pengalaman “mysterium tremendum et fascinosum.”

Dari istilah pengaosan atau pengajian dalam basa krama yang merupakan kata kerja pasif inilah “mysterium tremendum et fascinosum” diharapkan untuk tumbuh. Sebab, dari istilah pengaosan terungkap bahwa, dalam proses pembacaan itu, orang tak secara sadar diri membaca, atau ngoyak ilmu. Seperti halnya wahyu yang akan mlayu ketika diburu, ilmu pun konon mempunyai otonomi sendiri yang tak sepenuhnya sejalan dengan yang menginginkan.

This post was last modified on 25 Mei 2023 5:11 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

23 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

23 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

23 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago