Pasca Reformasi 1998 muncul upaya mendelegitimasi Pancasila. Salah satu yang paling getol mendelegitimasi Pancasila adalah kelompok Islam konservatif-radikal. Narasi yang mereka pakai adalah tudingan bahwa Pancasila adalah sistem thaghut dan kafir. Tudingan ini bisa dilacak dari nalar dikotomistik yang membagi negara ke dalam dua kategori; darul Islam/tauhid dan darut thaghut.
Darul Islam adalah negara yang menerapkan syariah hukum positif negara. Sedangkan darut thaghut merujuk pada negara yang tidak (belum) menerapkan hukum Islam secara menyeluruh (kaffah). Dari pandangan dikotomistik inilah, muncul tudingan bahwa NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 adalah representasi darut thaghut atau darul kufur.
Diksi “Kafir” atau “Thaghut” telah menjadi kosakata andalan kaum radikal untuk mendelegitimasi Pancasila. Frasa itu juga dipakai untuk memprovokasi umat agar membangkang pada pemerintahan yang sah. Di titik ini, kita tentu tidak boleh diam saja melihat bagaimana narasi Pancasila sebagai sistem kafir dan thaghut ini disebarluaskan untuk mengagitasi umat.
Empat Argumen untuk Membantah Narasi Pancasila Kafir dan Thaghut
Setidaknya ada empat argumen untuk membantah narasi Pancasila kafir dan thagut. Pertama, argumen historis yakni fakta bahwa para penggagas Pancasila dan pendiri bangsa ini sebagian di antaranya adalah para ulama dan kiai yang masyhur oleh kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya dalam ilmu agama. Mungkinkan para kiai dan ulama itu menyetujui konsep Pancasila jika tidak sesuai dengan ajaran agama? Tentu sesuatu yang mustahil, bukan?
Di saat yang sama, menuding Pancasila sebagai produk kafir atau thaghut sama saja dengan mengkafirkan para perumus dan pendukung awal, yang di antaranya ialah kiai dan ulama. Fakta sejarah bahwa para ulama dan kiai terdahulu terlibat dan mendukung perumusan Pancasila secara langsung telah mengeliminasi tudingan bahwa Pancasila adalah sistem kafir dan thaghut.
Kedua, argumen teologis yakni bahwa tidak ada satu pun sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Secara garis besar, Pancasila sejalan dengan prinsip dasar Islam terutama yang termaktub dalam tujuan pokok syariah (maqasyid al syariah). Kelima sila dalam Pancasila, bahkan bisa dicari rujukannya di dalam Alquran.
Sila pertama (ketuhanan) bisa dilacak dari surat Al Ikhlas yang berbicara tentang keesaan Allah (tauhid). Sila kedua (kemanusiaan) sejalan dengan firman Allah pada Surat An Nisa ayat 135. Sila ketiga (persatuan) sesuai dengan Surat Al Hujarat ayat 13. Sila keempat (permusyawaratan) bisa dilihat pada Surat Al Syura ayat 38. Sedangkan sila kelima (keadilan) dijelaskan dalam Surat An Nahl ayat 90. Dalil-dalil itu secara eksplisit terdapat dalam Alquran dan menjadi bukti bahwa Pancasila sejalan dengan Islam.
Ketiga, argumen sosiologis, yakni bahwa Pancasila rahim dari bangsa Indonesia yang beragam baik dari segi suku, bahasa, budaya, dan agama. Dalam konteks Indonesia, Islam bukanlah entitas tunggal melainkan bagian dari kemajemukan bangsa. Islam yang berkembang di Indonesia juga sudah berakulturasi dan mengalami fase hibridisasi dengan kebudayaan dan kearifan lokal. Ini artinya, entitas Islam yang eksis di Indonesia memiliki perbedaan dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah yang cenderung homogen.
Menjadi Muslim Indonesia; Taat Beragama, Menerima Pancasila
Fakta sosiologis itu tidak bisa diingkari oleh semua umat Islam Indonesia hari ini. Maka, menjadi muslim di Indonesia adalah menjadi individu dengan identitas ganda yang manunggal. Di satu sisi kita dituntut untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Namun, di sisi lain kita juga berkewajiban memegang teguh karakter keindonesiaan yang inklusif dan toleran pada kemajemukan. Maka, menerima Pancasila pada dasarnya ialah bagian dari laku keislaman umat muslim di Indonesia.
Terakhir, argumen politis yakni bahwa seluruh warganegara Indonesia memiliki latar belakang dan sejarah yang nisbi sama. Di masa lalu, bangsa ini adalah bangsa jajahan yang berjuang mati-matian untuk memperoleh kemerdekaan. Di antara eksponen pejuang itu terdapat golongan ulama, kiai, dan santri yang selalu berperan penting dalam milestone perjalanan bangsa dari era revolusi kemerdekaan hingga sekarang.
Itu artinya, DNA politik masyarakat Indonesia itu sebenarnya sama. Yakni percampuran antara nasionalisme Barat dan spirit perjuangan (jihad) Islam. Maka, ketika kemerdekaan berhasil diraih dan kita mendirikan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945 itu semua merupakan fakta politis yang tidak bisa dibantah. Ironisnya, kini yang menggugat keabsahan Pancasila itu justru kelompok yang tidak memiliki sumbangsih apa pun dalam sejarah perjalanan bangsa.
Kelompok yang gemar mengumbar kata sesat, kafir, bidah, atau thaghut adalah kaum konservatif-radikal yang lebih gemar menyanjung sejarah bangsa lain ketimbang sejarah bangsa sendiri. Merekalah yang selama ini memanipulasi fakta sejarah demi menjauhkan umat dari akar dan identitas kebangsaannya. Ketika akar dan identitas nasional itu tercerabut, maka langkah untuk menghancurkan bangsa akan semakin terbuka lebar.
This post was last modified on 29 Mei 2023 1:03 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…