Narasi

Empat Filosofi Isra Mikraj untuk Indonesia Bebas Hoaks dan Radikalisme

Pada tahun ke-10 kenabiannya, Nabi Muhammad menjalani sebuah perjalanan spiritual. Ia diperjalankan Allah dari kamarnya ke Masjidil Haram di Mekkah, lalu ke Masjidil Aqsha di Palestina. Puncaknya, Nabi Muhammad diperjalankan Allah ke Sidratul Muntaha di langit ke tujuh. Perjalanan monumental ini lantas disebut isra mikraj yangi diperingati umat Islam saban tanggal 27 Rajab. Isra mikraj ialah perjalanan fisik sekaligus metafisik yang menandai sebuah lompatan spiritual Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.

Sebagai sebuah perjalanan spiritual, isra mikraj sarat dengan peristiwa simbolik. Dimulai dari perjalanan kilat Nabi Muhammad dari Mekkah, Palestina dan Sidratul Muntaha yang hanya dilakukan dalam waktu semalam. Pendekatan saintifik modern tentu tidak bisa menjelaskan fenomena ini secara ilmiah. Begitu pula kendaraan Buroq yang tentu tidak dikenal di dunia nyata. Juga peristiwa ketika Nabi Muhammad dibelah dadanya dan disucikan hatinya dengan air zamzam. Isra miraj memang sarat dengan nuansa simbolis, mitologis dan mistis yang hanya akan bermakna jika kita mengimaninya dan berupaya mencari makna di baliknya.

Pemikir Islam modern, Muhammad Iqbal menyebut bahwa isra mikraj ialah peristiwa yang membuktikan bahwa Nabi Muhammad ialah selalu ingin membersamai umatnya. Pendapat ini dilandasi oleh fakta bahwa Nabi Muhammad memilih untuk kembali ke bumi, meski telah sampai ke Sidratul Muntaha. Ungkapan bernada alegoris dari Sir Iqbal ini tentu menjadi pemantik bagi umatnya, terutama yang hidup di era ini untuk memaknai isra miraj tidak hanya dari sisi simbolisnya, melainkan lebih dari sisi filosofisnya.

Dari rangkaian perjalanan isra miraj Nabi Muhammad tersebut, kiranya kita bisa menarik setidaknya empat filosofi yang bisa kita elaborasi dalam kehidupan sekarang. Pertama, perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina kiranya bisa ditafsirkan secara filosofis sebagai sebuah simbol untuk menjalin kerjasama dan dialog antaragama. Seperti kita tahu, di masa lalu Makkah dan Palestina ialah dua tempat suci umat Islam.

Ironisnya, sekarang Palestina menjadi tanah pertumpahan darah dan diperebutkan oleh setidaknya tiga kelompok agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Konflik Palestina dan Israel, dalam konteks yang lebih spesifik bahkan telah menjadi akar dan latar dari sejumlah peristiwa kekerasan dan terorisme mengatasnamakan Islam. Kedua, dibasuhnya dada Rasulullah dan pilihannya atas susu ketimbang khamr mengandung nilai filosofis terkait betapa pentingnya dimensi kesucian (fitrah) dalam berislam. Bersih fisik dan pikiran merupakan prasyarat seorang muslim untuk menghadap ke hadirat Allah Swt.

Ketiga, perjalanan gradatif (bertingkat) Rasulullah dari langit pertama hingga langit ke tujuh dan sampai ke Sidratul Muntaha memiliki nilai filosofis ihwal proses berjenjang dalam perjalanan spiritual. Seorang muslim mustahil mencapai tahapan spiritual tertinggi, yakni dekat dengan Allah (taqarub ilallah) kecuali melalui sejumlah tahapan. Dalam konteks yang lebih luas, dunia Islam tidak akan mengalami kejayaan dengan cara-cara instan.

Terakhir, perintah sholat dari yang tadinya 50 kali sehari menjadi 5 kali sehari dapat dimaknai sebagai bukti bahwa Islam merupakan agama yang fleksibel. Bahkan, Allah pun mau menerima keberatan Nabi Muhammad. Ini artinya, Islam bukanlah agama kaku yang penuh paksaan dan ancaman. Sebaliknya, Islam selalu mengedepankan jalan tengah dalam memecahkan persoalan.

Spirit Isra Mikraj untuk Mewujudkan Indonesia Steril Hoaks dan Radikalisme

Keempat filosofi isra mikraj ini kiranya bisa dielaborasi dalam konteks sekarang. Terlebih dalam konteks mewujudkan Indonesia bebas dari hoaks dan radikalisme. Filosofi ihwal dialog antaragama kiranya bisa dikembangkan lebih lanjut demi mencegah berkembangnya benih-benih radikalisme. Seperti kita tahu, radikalisme tumbuh subur di tengah masyarakat yang rawan konflik terutama akibat perbedaan agama.

Filosofi tentang kesucian kiranya bisa menjadi semacam fondasi untuk membangun kesadaran dan sikap anti-hoaks di kalangan umat Islam. Nabi Muhammad hanya bisa mi’raj ke Sidratul Muntaha dengan fisik dan jiwa yang suci. Demikian pula kita bisa mencapai maqam spiritual yang tinggi jika kita bersih dari segala kemunafikan dan kebohongan. Di era modern ini, kemunafikan dan kebohongan terrepresentasikan melalui fenomena hoaks, ujaran kebencian dan sejenisnya yang lalu-lalang terutama di media sosial. Membebaskan diri kita dari jebakan hoaks ialah jalan spiritual yang harus kita tempuh agar kita bisa dekat dan mendapat ridho Allah Swt.

Filosofi tentang perjalanan gradatif menuju langit ketujuh yang dialami Nabi Muhammad ialah pelajaran bahwa kejayaan tidak bisa diraih dengan cara instan. Filosofi ini penting diresapi oleh kelompok- radikal yang kerap beranggapan bahwa kejayaan Islam bisa diraih jika khilafah atau daulah islamiyyah berdiri. Kejayaan peradaban Islam membutuhkan proses panjang, layaknya perjalanan mi’raj Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh. Kesadaran akan pentingnya proses gradatif (bertingkat) ini sedikit-banyak akan membentengi umat Islam dari paparan ideologi radikal yang mengedepankan pola pikir serba instan.

Peringatan isra mikraj saban 27 Rajab secara simbolis tentu penting untuk mengingat sisi historis peristiwa spiritual tersebut. Namun, jauh lebih penting dari itu ialah bagaimana menerjemahkan nilai filosofis isra mikraj. Bagaimana peristiwa yang terjadi berabad lampau bisa memiliki spirit yang relevan hingga zaman ini. Itulah tugas utama umat Islam hari ini. Sebagai awam, mustahil kita bisa mengalami atau merasakan pengalaman spiritual isra mikraj. Namun dengan menggali aspek filosofisnya, kiranya kita bisa mengejawantahkan spirit isra’ mi’raj dalam konteks sekarang yang penuh tantangan kebangsaan ini.   

Peringatan isra mikraj ini idealnya menjadi momentum umat Islam Indonesia untuk menyucikan diri dan komunitas dari paparan hoaks. Memproduksi dan mendistribusi hoaks ialah dosa modern yang menghijabi kita dari mendapatkan ridho Allah Swt. Momentum peringatan isra mikraj idealnya juga bisa menjadi modal memperkokoh persatuan bangsa melawan radikalisme. Anasir radikalisme ialah hambatan terbesar Islam dalam meniti tangga kejayaan. Pola pikir serba instan kaum radikal tidak akan mengantarkan dunia Islam pada puncak peradaban, alih-alih tersungkur dalam perpecahan dan kemunduran.

This post was last modified on 8 Maret 2021 3:14 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago