Narasi

Empati Digital dan Bagaimana Menyelamatkan Anak dari Doktrin Perang Geo-Politik Global?

Empati digital adalah kemampuan merasakan, memahami, dan menghormati orang lain dalam interaksi daring. Ini bukan hanya soal etika berkomunikasi, tetapi kemampuan untuk menyaring dan memproses informasi dengan kesadaran emosional dan sosial. Dalam era ketika algoritma media sosial kerap memicu polarisasi dan memperkuat bias, empati digital adalah tameng moral yang penting bagi anak-anak dalam mengarungi dunia maya.

Empati digital adalah perisai sekaligus kompas moral yang sangat dibutuhkan anak-anak dalam menghadapi era geopolitik yang semakin kompleks dan manipulatif. Menyelamatkan mereka dari doktrin perang bukan dengan menutup akses digital, tetapi dengan membuka hati, pikiran, dan ruang dialog agar mereka tumbuh sebagai manusia merdeka yang berpikir kritis, berperasaan halus, dan berpihak pada kemanusiaan.

Anak yang memiliki empati digital tidak mudah terpancing provokasi, tidak gampang membenci kelompok lain hanya karena berita viral, dan mampu melihat perbedaan pendapat sebagai peluang untuk belajar, bukan alasan untuk membenci. Mereka tidak sekadar melek digital, tetapi berhati digital — manusiawi dalam interaksi meskipun berselimut jaringan.

Di tengah derasnya arus informasi digital, anak-anak dan remaja kini tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga sasaran dari berbagai narasi global, termasuk konflik geo-politik dunia. Perang tak lagi hanya terjadi di medan laga bersenjata, tetapi juga di layar gadget melalui ujaran kebencian, disinformasi, dan doktrin ideologis.

Melalui film, video game, influencer, dan bahkan kurikulum terselubung, mereka bisa terpapar pada glorifikasi kekerasan, nasionalisme ekstrem, islamofobia, rasisme, atau kebencian sektarian. Tanpa sadar, anak-anak bisa dijadikan simpatisan perang dengan cara menyetujui konflik, memihak secara membabi buta, bahkan menormalisasi kekerasan sebagai solusi konflik.

Perang geo-politik global hari ini bukan hanya soal perebutan wilayah dan sumber daya, tetapi juga soal memperebutkan opini dan narasi publik. Negara-negara besar melancarkan cyber warfare dan information war melalui propaganda, hoaks, manipulasi opini, dan polarisasi ideologi.

Dalam konteks ini, empati digital menjadi kunci untuk membentengi generasi muda dari paparan konten destruktif dan membentuk kesadaran global yang damai, manusiawi, dan beradab. Karenanya, anak-anak yang aktif di media sosial dan kerap mengakses konten global, rentan menjadi sasaran karena mereka masih dalam tahap pencarian jati diri dan belum sepenuhnya memiliki kemampuan berpikir kritis dan filter ideologis.

Menghadapi ini, keluarga dan lembaga pendidikan perlu bertransformasi menjadi benteng literasi dan empati. Orang tua dan guru tidak cukup hanya membatasi waktu layar, tetapi juga perlu terlibat aktif dalam membimbing anak untuk memahami konten yang mereka konsumsi.

Salah satu caranya adalah membangun literasi digital secara kritis. Anak perlu dibekali kemampuan untuk mengenali sumber informasi, membedakan antara opini dan fakta, serta tidak mudah mempercayai narasi tunggal. Ini bisa dilakukan lewat dialog terbuka, kelas literasi media, dan membiasakan anak untuk cross-check informasi dari berbagai sumber.

Cara yang kedua adalah bagaimana kira bisa mengajarkan kepada anak untuk melihat manusia dari sisi kemanusiaannya, bukan identitas politik, agama, atau negaranya. Empati terhadap korban perang, anak-anak pengungsi, dan ketidakadilan sosial harus dikedepankan ketimbang glorifikasi kekuatan militer. Setelah itu, kemudian ciptakan ruang dialog yang hangat agar anak merasa aman untuk bertanya dan mengungkapkan pendapat. Dengan begitu, orang tua dan guru bisa meluruskan jika ada pemahaman yang keliru.

Orang tua harus memberi teladan dalam berinteraksi di media sosial: tidak menyebar hoaks, tidak menanggapi perbedaan dengan caci maki, serta menunjukkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan global. Anak perlu merasa bangga menjadi bagian dari bangsa yang menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan. Ajarkan bahwa menjadi warga dunia berarti juga peduli terhadap penderitaan umat manusia, bukan menjadi alat kepentingan kekuasaan.

Di tengah gelombang konflik dan kebencian yang melanda dunia, mari tanamkan pada anak-anak satu hal yang tak lekang oleh zaman: bahwa damai adalah pilihan, dan empati adalah kekuatannya.

This post was last modified on 7 Juli 2025 3:06 PM

Abdul Warits

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

4 jam ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

4 jam ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

4 jam ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

4 jam ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

1 hari ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

1 hari ago