Narasi

Ancaman Hyper-Violence di Ranah Digital; Bagaimana Menjelaskan Konflik dan Kekerasan pada Anak?

Mengasuh anak bisa jadi adalah pekerjaan paling berat. Setiap anak dilahirkan dengan karakter berbeda. Buruh pendekatan yang berbeda bagi tiap anak untuk bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal, terutama secara mental atau psikis. Tantangan mengasuh anak itu kian berat di abad digital ini.

Zaman ketika anak-anak hidup di ruang virtual yang dikendalikan oleh algoritma. Anak-anak hari ini sebagian besarnya diasuh oleh YouTube atau TikTok. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam menggulir lini masa media sosial. Apa yang tengah trending atau fyp, itulah yang akan dikonsumsi anak.

Maka, menjadi wajar jika hari ini anak-anak lebih akrab dengan tokoh rekaan AI, seperti Tung Tung Sahur, ketimbang tokoh dongeng seperti Timun Mas, Malin Kundang, dan sebagainya. Lebih parah lagi, algoritma media sosial kerap menjerumuskan anak-anak pada konten kebencian bahkan kekerasan. Terlebih di tengah kondisi geopolitik global yang penuh gejolak konflik ini.

Konten kekerasan dan peperangan nyaris saban hari menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. Di media sosial, kekerasan dan peperangan hadir dalam bentuk video amatir yang nyaris bebas sensor.

Adegan ledakan roket dengan api berkobar, pemandangan gedung hancur penuh asap debu, bahkan mayat dan korban yang bergelimpangan penuh darah menjadi konsumsi anak-anak. Di media sosial, kekerasan dan peperangan kerap dihakimi dengan dua sudut pandang, yakni glorifikasi dan demonisasi.

Perilaku kekerasan diglorifikasi atau dianggap sebagai tindakan mulia jika korbannya adalah kelompok yang dipersiapkan sebagai musuh. Kekerasan ini pun dinormalisasi dengan dalih bahwa korban kekerasan adalah iblis yang memang layak dimusnahkan dari muka bumi. Inilah yang disebut sebagai pembenaran kekerasan dengan argumen demonisasi.

Di era digital, kekerasan yang terjadi di ruang virtual memang kerap melampaui batas-batas etika kemanusiaan. Permainan daring (game online) banyak yang secara eksplisit mengekspose kekerasan, baik verbal maupun fisik. Sebut saja game GTA: San Andreas yang penuh dengan umpatan, sumpah serapah, dan tindakan vandalistik, bahkan kekerasan fisik, dengan mudah dapat dimainkan oleh anak-anak.

Inilah yang disebut dengan istilah hyper-violence, yakni kekerasan yang berlebihan dan melampaui batas normalitas. Fenomama hyper-violence ini menjadi tantangan baru bagi pengasuhan anak. Fenomena ini mengharuskan orang tua untuk menjelaskan pada anak tentang konflik dan kekerasan dengan bahasa yang mudah dipahami. Tujuannya tentu agar anak tidak menduplikasi perilaku konflik dan kekerasan tersebut.

Langkah pertama yang harus diambil orang tua adalah mengajarkan anak agar tidak melihat konflik dan kekerasan dengan kacamata atau logika hitam putih. Dalam artian, jangan ajari anak-anak untuk melihat konflik atau kekerasan sebagai tindakan yang melibatkan pahlawan di satu sisi dan penjahat di sisi lain.

Logika yang hitam putih ini akan menjerumuskan anak pada normalisasi, bahkan glorifikasi kekerasan. Anak akan melihat kekerasan sebagai perilaku yang mulia dan suci, sehingga pelakunya layak disebut sebagai pahlawan.

Sebaliknya, anak-anak diajarkan untuk melihat konflik dan kekerasan secara lebih komprehensif. Anak-anak harus memahami latar belakang sosial, politik, dan budaya yang menjadi faktor pemicu munculnya konflik dan kekerasan. Di saat yang sama, anak harus diberikan pengertian bahwa konflik dan kekerasan akan selau menyisakan penderitaan bagi umat manusia. Kekerasan selalu memakan korban warga tidak berdosa (collateral damage).

Langkah selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk tidak menormalisasi apalagi mengglorifikasi kekerasan. Bahwa kekerasan bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah, namun sebaliknya kekerasan hanya menghadirkan masalah baru yang lebih kompleks. Sebaliknya, anak harus diajari mekanisme resolusi konflik untuk mencegah kekerasan.

Sejak dini, anak-anak harus memiliki kesadaran bahwa potensi konflik itu selalu ada dalam setiap relasi sosial manusia. Namun, anak juga harus memiliki kesadaran bahwa konflik tidak harus selalu berakhir dengan kekerasan. Kekerasan dapat dicegah dengan mekanisme negosiasi dan kompromi antar-berbagai pihak.

Di era sekarang, sepertinya mustahil menutup akses anak pada dunia digital. Namun, membiarkan anak mengakses media sosial tanpa kesadaran akan bahaya konten kebencian dan kekerasan tentu bukan tindakan bijak. Orang tua adalah pihak yang paling memiliki otoritas untuk memastikan anak tidak terpapar konten kebencian dan kekerasan di ranah digital.

Tidak kalah penting dari itu adalah platform media sosial harus memiliki kesadaran untuk tidak memviralkan konten kebencian dan kekerasan. Sslama ini, ada kesan perusaahan seperti Google, Meta, dan sebagainya justru kerap abai bahkan menyokong penyebaran konten kebencian dan kekerasan. Meta misalnya, pernah dituntut karena plarform Facebook dianggap bertanggung jawab atas merebaknya genosida etnis Rohingya di Myanmar.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah masyarakat luas agar memiliki kesadaran untuk tidak menjadikan konten kekerasan dan kebencian sebagai tren di media sosial. Media sosial seharusnya menjadi ruang yang mengamplifikasi pesan damai dan kemanusiaan. Bukan justru menjadi corong bagi ujaran kebencian dan provokasi kekerasan. Media sosial harus menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.

Nurrochman

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

2 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

2 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

2 hari ago