Dalam sebuah acara siniar (podcast), YouTuber Guru Gembul bertanya pada Felix Shiaw tentang gerakan HTI pasca dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah. Felix Shaiw dengan tegas menyebut bahwa HTI masih bergerak seperti sebelumnya, berdakwah dan menyebarkan agendanya di tengah umat.
Bahkan, Felix menyebut bahwa pasca dibubarkan, dakwah HTI justru lebih leluasa, karena tidak terbebani oleh apa pun. Pernyataan ini menyiratkan bahwa HTI belum mati, ia lahir kembali dengan wajah dan kemasan baru, namun dengan isi yang sama. Kita sebut saja, HTI Reborn.
Lantas, ketika Guru Gembul bertanya apakah HTI masih setia dengan agenda penegakan khilafah, Felix Shiaw justru berkilah bahwa HTI tidak pernah memiliki agenda menegakkan khilafah. Agenda HTI adalah melanjutkan kehidupan Islam. Dan, bagian dari melanjutkan kehidupan Islam itu adalah membentuk institusi politik Islam yakni khilafah.
Jawaban Felix Shiaw itu adalah jawaban khas para pengasong khilafah yang lihai menyusun kalimat yang manipulatif untuk mengecoh lawan bicaranya. Dia mengatakan mendirikan khilafah itu tidak ada dalam agenda atau tujuan HTI. Namun, di kalimat selanjutnya mengatakan bahwa institusi khilafah itu adalah kebutuhan untuk melanjutkan kehidupan Islam.
Tanpa disadari, ia sudah mengeluarkan dua kalimat yang sebenarnya saling bertolak belakang, untuk menyamarkan kepentingan tersembunyinya. Sayangnya, tidak banyak umat yang paham gaya berkomunikasi para pengasong HTI ini. Tersebab, kebanyakan umat hanya melihat apa yang disampaikan itu dari permukaan saja, tanpa membongkar logika komunikasi di baliknya.
Bahaya Nalar Formalisme Keagamaan
Maka, menjadi wajar jika masih banyak umat yang terpedaya dengan narasi HTI yang selalu mengklaim dirinya sebagai lembaga dakwah bukan gerakan politik. Padahal, dakwah HTI adalah dakwah politik yang sarat agenda kekuasaan. Tujuan akhir HTI adalah mengubah NKRI menjadi negara Islam dan mengubah tatanan global agar tunduk pada sistem khilafah.
Nalar berpikir yang demikian ini jelas merupakan bagian dari formalism keagamaan. Yakni cara pandang keagamaan yang hanya fokus pada aspek simbolistik-formalistik dan mengabaikan hakikat atau subtansi dari agama itu sendiri. Formalisme beragama tampak dari perilaku keberagamaan yang dangkal alias banal, dan nirmakna.
Puncak dari formalisme beragama ini tampak ketika umat gemar pamer kesalehan (relijiusitas) personal, namun abai pada kesalehan sosial. Di satu sisi, umat beragama memang kian rajin beribadah, namun di sisi lain umat beragama juga kian intoleran, bahkan radikal. Inilah yang disebut sebagai kesalehan semu dalam beragama.
Nalar formalisme beragama tidak diragukan juga telah menyumbang andil pada maraknya kasus intoleransi, kekerasan, dan terorisme atas nama agama di Indonesia selama dua dekade pasca Reformasi ini. HTI sebagai organisasi pengusung khilafah adalah manifestasi nyata dari nalar beragama yang formalistik.
Dalam keyakinan para simpatisan HTI, penegakan khilafah adalah solusi atas seluruh persoalan keumatan dan kebangsaan. Jika khilafah berhasil ditegakkan, maka persoalan korupsi, stunting, krisis ekonomi, bahkan kerusakan alam akan selesai dengan sendirinya. Mereka menafikan kenyataan bahwa semua problem itu berakar dari faktor yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan melalui solusi tunggal, yakni khilafah.
Membangun Kembali Tradisi Intelektualisme Islam
Nalar formalisme beragama ini pada akhirnya juga akan menggerus intelektualisme di kalangan umat Islam itu sendiri. Kita melihat belakangan ini bagaimana umat Islam lebih senang debat kusir membahas hal-hal khilafiyah seperti jilbab, bunga bank, dan sejenisnya. Problem khilafiyah itu sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan problem keumatan seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan sejenisnya.
Alhasil, kita kerap abai pada perdebatan subtansial misalnya tentang pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Konsekuensinya adalah, dunia Islam mengalami kemunduran intelektualisme yang luar biasa. Dalam beberapa tahun belakangan, umat Islam selalu absen dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebaliknya, umat Islam hanya menjadi konsumen dari produk pengetahuan dan teknologi yang lahir dari peradaban masyarakat Barat yang sekuleristik. Kemunduran intelektualisme ini pula yang membuat dunia Islam mudah diadu-domba antar-sesamanya melalui isu-isu sektarian menyangkut agama dan politik.
Maka, salah satu jalan untuk meredam kebangkitan HTI Reborn ini adalah dengan mengubah paradigma keagamaan umat Islam. Yakni dari nalar formalistik ke nalar subtantif. Kita harus mendekonstuksi perilaku keagamaan sebagian umat Islam yang masih berkutat pada aspek simbolistik menuju keberislaman yang subtantif.
Bahwa kunci mengembalikan kejayaan Islam bukan terletak pada sistem politiknya, melainkan pada sumber daya manusianya. Penegakan khilafah tidak akan bermakna apa pun jika kualitas SDM umat Islam masih terbelakang.
Untuk membangun kualitas sumber daya manusia umat Islam itulah, kita harus menghidupkan kembali tradisi intelektualisme di dunia Islam. Negara-negara muslim harus bangkit membangun pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Institusi pendidikan harus diperkuat, guna melahirkan generasi muslim yang punya dayar nalar rasional dan kritis. Menghidupan kembali tradisi intelektualisme Islam sekaligus juga kunci untuk mencegah umat Islam terbuai propaganda khilafah yang menawarkan janji manis, namun utopis.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…