Keagamaan

Filosofi Kurban : Sanggupkah Manusia Merelakan Kepemilikan?

Idul Adha, yang dikenal sebagai Hari Raya Kurban, bukan sekadar perayaan penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, Idul Adha membawa spirit dan makna mendalam yang secara filosofis sangat relevan bagi kehidupan manusia. Perayaan ini mengandung pelajaran berharga tentang kepemilikan, kemelekatan, dan keharusan untuk melampaui keduanya demi mencapai kedamaian dan kesejahteraan bersama.

Salah satu persoalan utama konflik dalam sejarah manusia adalah karena kepemilikan atau rasa memiliki sesuatu. Dalam sejarah, konflik sering kali muncul karena persaingan atas sumber daya yang terbatas, termasuk tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Konflik ini muncul ketika manusia mulai menggemakan rasa memiliki.

Dalam perspektif Islam, konsep kepemilikan memiliki dimensi yang lebih dalam dan terkait erat dengan pengabdian kepada Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah kepunyaan Allah SWT, termasuk anak, harta benda dan harta kekayaan yang dimiliki manusia. Manusia hanya menjadi pemegang amanah yang bertanggung jawab atas pengelolaan harta yang diberikan oleh Allah SWT.

Islam membawa konsep kepemilikan tetap berada dalam pribadi seseorang, tetapi ia diletakkan sebagai pemegang amanah bukan pemilik murni. Karenanya dalam harta mereka ada hak orang lain yang harus ditunaikan melalui zakat. Konsep ini lebih moderat daripada membongkar cara berpikir untuk kembali pada era komunalisme dan kolektivisme masa purba.

Ibrahim diuji oleh Tuhan berdasarkan rasa kepemilikannya yang paling dicintai, yakni anak. Kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allah, mengajarkan manusia tentang keikhlasan dan kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Bahkan Tuhan adalah Pemilik atas Segalanya yang absah.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa manusia harus siap melepaskan dan merelakan hal-hal yang paling dicintai. Pengorbanan Ibrahim mengajarkan kita untuk melampaui kepemilikan dan kemelekatan terhadap materi dan benda-benda duniawi.

Dalam refleksi yang lebih mendalam, manusia diingatkan untuk menguasai benda, materi, dan hal-hal lain yang dicintai, bukan sebaliknya. Manusia tidak boleh menjadi budak benda dan materi. Jika terjebak dalam kepemilikan dan kemelekatan, manusia akan terus “lapar” dan “haus” akan harta dan kepuasan duniawi yang tidak ada habisnya.

Karena itulah, dalam ajaran agama, manusia selalu dibatasi untuk merasa memiliki segalanya. Puasa misalnya membatasi rasa memiliki atas segala makanan yang menjadi haknya. Zakat juga mengajarkan untuk merelakan kekayaannya karena sesungguh ada hak orang lain di dalamnya.

Orang yang kaya bukanlah mereka yang memiliki banyak harta benda, melainkan mereka yang mampu menikmati dan mensyukuri apa yang dimiliki. Kekayaan sejati terletak pada rasa syukur dan kemampuan untuk menikmati hidup dengan apa adanya.

Penyembelihan hewan kurban dalam Idul Adha juga memiliki makna simbolis yang mendalam, terutama dalam konteks sosial masyarakat Indonesia kontemporer. Ritual ini bisa dimaknai sebagai upaya “menyembelih” rasa memiliki, egosentrisme, tindakan destruktif, dan naluri primitif, baik pada level individu maupun kelompok.

Dalam perayaan ini, kita diingatkan untuk melepaskan kepemilikan dan kemelekatan yang bersifat duniawi. Kita diajak untuk melihat ke dalam diri, merelakan ego kita, dan membuka diri terhadap orang lain. Pengorbanan hewan kurban adalah simbol dari pengorbanan ego dan keserakahan kita, serta komitmen untuk berbagi dan peduli terhadap sesama.

Melalui refleksi yang mendalam, kita diingatkan bahwa agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan penghargaan terhadap kehidupan. Idul Adha adalah waktu yang tepat untuk refleksi diri dan mengikis sikap egosentris.

Mari kita jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, serta bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih adil, damai, dan harmonis. Dengan semangat Idul Adha, kita bisa menyembelih egosentrisme beragama dan membangun dunia yang lebih baik untuk semua.

Septi Lutfiana

Recent Posts

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

2 hari ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

2 hari ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

2 hari ago

Petaka Takfiri-Bedah Narasi Pengkafiran Kelompok Radikal Teroris : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 5 Juni 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

2 hari ago

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

3 hari ago

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…

3 hari ago