Categories: Kebangsaan

Garuda Bukan Burung Perkutut!

Di dunia ada belasan negara yang menggunakan gambar burung sebagai simbol otoritas kekuasaan. Penggunaan simbol ini terbentang di seluruh benua mulai dari benua Asia sampai Amerika. Di benua Asia simbol burung digunakan oleh Indonesia, Thailand, Uzbekistan, dan Irak.  Sedangkan untuk benua Afrika, Mesir dan Afrika Selatan lah yang mempergunakannya. Di benua Eropa ada Jerman, Albania, Rusia, dan Polandia. Sedangkan di benua Amerika ada Meksiko dan Amerika Serikat. Dan di benua Australia ada negara Papua Nugini yang juga menggunakan simbol burung.

Biasanya simbol burung yang digunakan dimodifikasi sesuai sejarah kebangsaan negara yang bersangkutan. Selain itu slogan nasional yang jadi jargon utama persatuan bangsa juga turut dicengkram atau diikatkan pada burung. Hal ini bisa terlihat di simbol burung Amerika Serikat yang mengikat simbol persatuan “E Pluribus Unum (dari banyak jadi satu)” di Patuknya. Lambang negeri paman Sam ini juga mencengkram ranting Zaitun dan tiga belas anak panah sebagai simbol keragaman koloni pembentuk negara yang bersatu.

Di Mesir dan Irak simbol burung yang mereka gunakan dikenal sebagai burung Shalahuddin. Burung yang mereka gunakan nyaris tampak serupa karena sama-sama terinspirasi semangat penyatuan negeri-negeri Arab. Simbol burung pun dipadukan dengan cengkraman kuat atas nama negara mereka masing-masing, Al-Jumhuriyah Misr Al-‘Arabiyah (Republik Arab Mesir) dan Al-Jumhuriyah Al-‘Irakiyah (Republik Irak).

Berbeda dengan simbol burung di negara lain, di Indonesia burung yang digunakan lebih unik lagi. Garuda sebagai simbol yang dipergunakan negeri ini bukanlah burung yang dapat ditemukan di dunia nyata. Garuda adalah burung mitologi yang berkembang dalam tradisi kebudayaan Sanksekerta. Garuda merupakan salah satu Wahana (kendaraan) yang dipakai dewa Wisnu untuk memelihara dan menjaga alam semesta. Karenanya ia menjadi simbol spriritualitas berupa harapan menjaga Nusantara dari bermacam gangguan.

Entah terkait atau tidak, penggunaan ‘seperti’ lambang Garuda di Nusantara sebenarnya telah ada sejak zaman Kesultanan Samudera Pasai yang berakhir pada kisaran abad ke-16 Masehi akibat invasi Portugis. Sejumlah bukti sejarah mengungkap bahwa kesultanan ini menggunakan kata bahasa Arab bertuliskan “Bismillahirramanirrahim Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammad rasulullah (Dengan nama Allah yang Maha Kasih dan Sayang, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah) ” yang dibentuk seperti lambang Garuda yang dikenal saat ini.

Sebagai burung mitologi, garuda dipersonifikasikan secara gagah. Kepakan sayap, ketajaman pandang, cengkraman erat boleh jadi merupakan alasan para bapak pendiri bangsa menggunakannya sebagai lambang negara. Sultan Abdul Hamid Alkadri yang merupakan penguasa kesultanan Kadiriyah di Pontianak merupakan desainer awal lambang negara ini pada tahun 1950-an sebelum disempurnakan oleh Soekarno dan tokoh nasional lain. Ia berhasil memasukkan unsur-unsur harapan, cara pandang, sejarah, dan nilai falsafah bangsa ke dalam lambang Garuda.

Warna keemasan yang digunakan Garuda merupakan bagian dari harapan bangsa untuk mewujudkan bangsa yang makmur setelah ditempa pengalaman panjang sebagai bangsa jajahan. Kepakan sayap terbentang menjadi simbol kesiapan bangsa Indonesia untuk terbang tinggi menggapai cita-citanya. Perjalanan panjang Garuda mengawal Indonesia dilindungi sebuah perisai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Tak lupa Garuda pun mencengkram semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun satu jua)’. Jumlah bulu di sayap, ekor, dan leher didesain untuk merefleksikan sejarah kemerdekaan bangsa di saat proklamasi 17 Agustus 1945.

Garuda adalah cita-cita dan nilai, dia bukan burung perkutut yang hanya bisa bunyi atau dipertontonkan banyak orang. Garudalah yang mencengkram kita untuk bersatu dalam perbedaan, bukan berbeda untuk permusuhan dan kekerasan. Inilah nilai luhur itu!

This post was last modified on 23 April 2015 2:15 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

3 menit ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

6 menit ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

23 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago