Narasi

Generasi Milenial dan Bela Negara dalam Kebhinekaan

“…..Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”

Petikan dalam Pembukaan UUD 1945 ini sangat penting dipahami generasi milenial hari ini. Inilah cita-cita dan tujuan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak membeda-bedakan siapapun warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan budaya. Semua adalah warga negara Indonesia yang memang sejak dahulu kala sudah berbeda-beda, sehingga tak boleh ada diskriminasi atau semacamnya.

Generasi milenial, selain mendapatkan berkah kecanggihan teknologi yang melingkupinya juga mendapatkan berkah kebhinekaan yang melekat dalam jati diri bangsa Indonesia. Siapapun yang ingin membela bangsa dan negaranya, maka generasi milenial harus meresapi makna kebhinekaan yang memang sangat kaya di seluruh pelosok Nusantara. Dalam suku Jawa saja, kebhinekaan sudah begitu melimpahnya, apalagi juga dengan suku-suku lainnya. Semua adalah berkah bagi semua anak bangsa.

Saat ini masih banyak kasus-kasus yang merenggut makna kebhinekaan. Data Setara Instistute, sampai Agustus 2018, tercatat ada 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan jumlah 136 tindakan. Pelanggaraaan ini tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Provinsi yang tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, kemudian Yogyakarta dan NTB. Aktor tindakan itu terbagi dalam dua kategori, penyelenggara negara dan aktor non-negara. 40 tindakan itu dilakukan penyelenggara negara, tiga aktor paling tinggi adalah kepolisian, pemerintah daerah, dan institusi pendidikan.

Data ini menjadi sangat penting untuk dijawab generasi milenial. Terlebih, tidak sedikit juga generasi milenial yang malah tergabung dalam barisan pembaca literatur keislaman yang bercorak radikal. Ini digambarkan oleh riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pertengahan Januari 2018 yang mengabarkan bahwa generasi milenial banyak yang tertarik literatur keislaman yang bercorak radikal. Hasil yang ditemukan, lima corak literatur keislaman yang umumnya diakses generasi milenial, yaitu literatur bercorak jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Kelima corak tersebut berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya. Dalam hal ini, literatur jihadi paling sedikit peminatnya, sedangkan Islamisme popular paling banyak diminati.

Baca juga : Islam Indonesia sebagai Paradigma Bela Negara era Millenial

Dalam penelitian ini juga ditegaskan bahwa literatur jihadi menggambarkan dunia saat ini berada dalam situasi perang sehingga menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan untuk  mengembalikan kejayaan Islam. Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk langsung terhadap sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat ini.

Generasi milenial lebih cenderung membaca pada literatur yang instan, mudah, dan cepat. Padahal, pembacaan atas literatur keagamaan yang instan bisa melahirkan salah paham, bahkan gagal paham, terhadap makna ajaran agama itu sendiri.

Dalam konteks kebhinekaan, jebakan literatur jihadi sangat membahayakan, karena bisa memunculkan berbagai tragedi kekerasan, bahkan aksi teror antar sesama anak bangsa.

Tantangan Masa Depan

Generasi milenial adalah generasi yang merasakan nikmatnya teknologi. Apa saja kebutuhannya bisa dipenuhi dengan smartphone yang ada dalam genggamannya. Kalau smartphone salah menggunakannya, maka generasi milenial justru bisa terjebak dalam sisi negatif. Anak-anak yang sibuk dengan smartphone ini selain mengancam proses pembelajaran, juga sangat berbahaya ketika menerima keanekaragaman di sekelilingnya.

Kebinekaan yang sudah melekat dalam kehidupan bisa sulit diterima, karena smartphone membuat anak kurang pergaulan dan gagap melihat kondisi sekitar. Padahal, pendidikan kebinekaan harus dipratekkan dalam keseharian. Kalau anak gagap melihat kebinekaan, maka sangat berbahaya melihat kondisi sebagian masyarakat yang mulai tidak ramah dengan keanekaragaman suku, budaya, ras, bahasa, dan agama yang melekat di Indonesia.

Dalam konteks ini, tepat yang ditegaskan Bung Karno, “Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali.”

Pernyataan Bung Karno ini sangat tepat untuk menjadi refleksi generasi milenial dalam menjawab kegelisahan peradaban. Bung Karno mewanti-wanti agar semua elemen bangsa serius dalam membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” bagi anak bangsa. Lembaga pendidikan mempunyai tugas paling depan untuk membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” tersebut. Dari rahim lembaga pendidikan, bangsa ini bisa keluar dari jebakan kedangkalan.

Jaman Bung Karno dan jaman sekarang tentu saja berbeda. Tetapi spirit dalam membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” tetaplah sama. Untuk itu, laju perkembangan teknologi digital harus dimanfaatkan untuk menguatkan “isi-hidup” dan “arah-hidup” setiap anak bangsa. Harus ada kerja keras dan kerja cerdas, karena tidak bisa hanya dilalui dengan tumpukan administrasi saja. Taruhannya sangat besar: masa depan peradaban bangsa.

Dalam konteks kebinekaan, guru menjadi salah yang terdepan dalam kesuksesan pendidikan karakter anak dalam memahami dan mempraktekkan kebinekaan. Guru mampu mengolah situasi agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dan analitis (critical thinking), kreatif dan inovatif (creativity), kolaboratif (collaboration), serta komunikatif (communication). Untuk itu pembelajaran tidak hanya mengandalkan kelas. Dalam problem kebinekaan, guru harus bisa mengajak siswa lebih aktif, memecahkan masalah, bekerja dalam tim, saling menghormati dan menghargai dan tentu konten utamanya adalah nilai-nilai Pancasila. Di sini, seorang guru harus melekat dengan anak didiknya.

Dengan pemahaman demikian, guru dan orang tua juga akan berperan besar dalam mengajarkan anak ihwal kebinekaan. Perangkat teknologi harus diarahkan untuk menguatkan karakter anak dalam mempraktekkan kehidupan sehari-hari di tengah kebinekaan Indonesia. Asupan ilmu dan kasih sayang dari orang tua dan guru sangat bermanfaat bagi masa depan anak, dari pada memberikan anak dengan aneka fasilitas dan harta.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

3 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago