Narasi

Gerakan Bersama untuk Memerahputihkan Dunia Maya

Dunia maya telah membuka seluas-luasnya informasi. Setiap orang bisa mencari informasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bahkan setiap orang bisa memproduksi informasi dan kemudian disebarluaskan. Semisal, hari ini terjadi sebuah kejahatan, maka dengan “kecepatan cahaya”, informasi itu akan sampai ke orang yang memiliki jarak dan waktu yang berbeda.

Kecepatan informasi yang dihadirkan dunia maya, di sisi lain menimbulkan sebuah dilema dalam sosial masyarakat. Karena kecepatan dan mudahnya memproduksi sebuah informasi dibuat beberapa kalangan untuk menyebarkan ujaran kebencian, bahkan memecah belah sebuah kehidupan yang harmoni. Pada tahun 2016, data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (CNN: 2016).

Pada akhir 2014, misalnya, Twitter menemukan fakta yang mengejutkan bahwa Negara Islam (ISIS) telah membuat 700 ribu akun Twitter yang punya koneksi dengan berbagai kelompok teroris di belahan dunia. Hal ini membuat manajemen perusahaan berlogo burung biru itu mengawasi secara ketat konten-konten yang dicurigai berisikan agenda terorisme.

Terkait hal ini, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada 2011 telah mengidentifikasi tujuh bentuk penggunaan dunia maya untuk kepentingan teroris, di antaranya propaganda, perekrutan, pendanaan, pelatihan, perencanaan, penyebaran teror, dan cyberattack. Dalam banyak kasus, strategi cyberspace ini telah dipraktikkan oleh semua jaringan kelompok teroris, baik di tingkat global (Al-Qaedah dan ISIS) maupun lokal (Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid).

Ujaran kebencian ketika tidak ditanggulangi dengan bijak, maka dapat menimbulkan sebuah kekacuan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sudah banyak contoh bagaimana hoax atau ujuran kebencian yang beredar di dunia maya dapat menimbulkan kerusuhan di dunia maya. Terlebih pada momen nanti ada hajatan besar, Pilpres, maka masyarakat harus melek dunia maya yang sehat.

Demi mendapatkan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang luas dan tidak mudah termakan oleh hoax, maka diperlukan banyak lapisan masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang melek dunia maya secara sehat. Seperti pemerintah harus menindak tegas orang-orang memproduksi hoax, tanpa harus melihat siapa mereka atau kepentingan apa. Sifat tegas yang diberikan pemerintah akan membuat efek jera pada mereka.

Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus memiliki peran aktif dalam mencegah persebaran hoax. Ketika pemerintah bisa menindak, maka masyarakat harus ikut peran aktif melaporkan akun-akun yang terindikasi sebagai akun penyebaran hoax.  Peran aktif pelaporan ini mempermudah pemerintah menindak melalui lembaga yang ditunjuk.

Sampai saat ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut hampir 6.000 situs internet telah diblokir. Situs-situs yang dblokir tersebut kebanyakan terkait penyebaran hoax. Sedangkan pemblokiran yang dilakukan sejak 2010 hingga saat ini, mengenai situs radikal, pemerintah sudah 814.594 situs. Meskipun demikian, situs-situs yang membahayakan kebersamaan dan kerukunan antar masyarakat, tidaklah berkurang. Bahkan, akun-akun radikal semakin hari semakin banyak.

Masyarakat tidak hanya sebatas melaporkan, tetapi juga berhenti menyebarkan sebuah berita yang terindikasi sebuah hoax atau ujaran kebencian. Yakni jangan mudah share berita yang tidak dimengerti oleh sumbernya. Masyarakat bisa memeriksa siapa yang menyebarkan informasi itu. Semisal, melihat riwayat foto, terkadang akun penyebar atau produksi hoax, akan menggunakan data yang bohong juga, salah satunya adalah foto yang tidak jelas.  Dengan kata lain, memberhentikan share maka menghentikan informasi tersebut kepada teman yang ada di dunia maya.

Seperti halnya, ketika kita mendapatkan informasi, baik dari Facebook, twitter, web atau sejenisnya, maka kita harus melacak siapa yang memegang user-name. Media sosial itu adalah media bebas. Pemilik akun media sosial bisa  berbuat apa saja karena tidak ada sensor.

Semisal, ketika kita mendapat informasi dari Facebook, maka kita harus benar-benar memperhatikan siap pengguna Facebook. Kita bisa membuka profil Facebook dan riwayat hidup nama tersebut. Ketika Facebook itu benar-benar pengguna yang baik, maka kita bisa mengetahui dengan profil yang diperkuat dengan foto-foto dokumentasi selama perjalanan pengguna Facebook.

Dengan cara bersama-sama dalam menjaga dunia maya, setidaknya kita telah ikut aktif menjaga kerukunan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, mulai detik ini mari kita bersama-sama memerahputihkan segala informasi dari hoax dan ujaran kebencian agar kehidupan harmoni tetap terjaga. Salam jempol.

 

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

23 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

23 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

23 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago