Narasi

Gerakan Radikal Bersembunyi di Balik Pesantren? Kiat Memilih Pesantren yang Tepat

Pesantren salaf, disebut juga pesantren tradisional, merupakan institusi yang berperan penting di Indonesia dalam proses transmisi pengetahuan ilmu agama. Pesantren yang telah ada jauh sebelum masa penjajahan memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan peradaban Islam di Indonesia berupa pengetahuan ilmu agama yang orisinil karena dipelajari langsung dari sumber aslinya.

Santri, sebutan untuk mereka yang belajar di pesantren tidak dididik secara instan atau dadakan, melainkan ditempa untuk memahami ilmu agama secara konsisten, penuh kesabaran dan melalui proses yang panjang. Tidak hanya didikan ilmu agama, santri juga dibekali dengan akhlak terpuji sehingga citra diri yang terpancar dalam diri santri adalah entitas yang agung. Santri beretika dan memiliki moral yang baik, baik terhadap guru (Kiai), orang tua maupun orang lain.

Pesantren salaf atau pesantren tradisional selain mendidik santrinya dengan ilmu agama dan akhlak mulia,  juga membekali santrinya dengan nalar kebangsaan yang baik. Menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dan ketegasan pernyataan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, adalah contoh paling nyata dari pesantren yang mengajarkan nalar kebangsaan secara baik.

Sehingga pesantren salaf mampu melahirkan santri yang memiliki spirit religiusitas dan nalar kebangsaan sekaligus. Membentuk kultur yang holistik dengan kultur keagamaan dan kebangsaan yang kuat dalam diri santri. Tercetusnya adagium “Hubbul wathan minal iman” yang artinya cinta tanah air sebagian dari iman, adalah wujud dari spirit religiusitas dan nalar kebangsaan yang diajarkan di pesantren salaf.

Satu yang menjadi ciri khas pesantren salaf yaitu pengajaran “kitab kuning”, suatu istilah yang dipakai untuk menunjuk referensi-referensi karya ulama salaf dan khalaf berbentuk tulisan arab tanpa harakat. Kitab kuning merupakan sumber utama memahami agama karena sumbernya adalah al Qur’an dan hadits. Kitab kuning terdiri dari beberapa disiplin ilmu penting dalam agama Islam, seperti ilmu fikih, ushul fikih, ilmu hadits, ilmu tafsir, nahwu, sharaf, kaidah fikih dan lain-lain.

Untuk mempelajari multi disiplin ilmu tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Butuh konsistensi, kesabaran dan melalui proses yang panjang. Jadi, santri tidak terdidik secara instan sehingga pengetahuan agamanya tidak diragukan.

Satu hal lagi, dalam pesantren salaf tidak terfokus pada satu madhab, terutama dalam ilmu fikih. Mayoritas pesantren salaf mengajarkan lintas madhab sehingga santri dengan sendirinya terdidik menilai perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang lazim dan lumrah. Santri tidak akan mudah menyalahkan praktik beragama pihak lain karena sangat mungkin memiliki dasar argumen yang juga kuat.

Seiring perkembangan zaman, pesantren juga berbenah diri menyesuaikan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Tidak cuma ilmu agama yang diajarkan, namun juga ilmu pengetahuan umum. Sekalipun demikian tetap mengokohkan kultur pesantren awal. Prinsipnya adalah “menjaga tradisi awal dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”.

Tetapi, akhir-akhir ini pesantren mulai dicemari oleh ulah sekelompok orang yang sengaja memanfaatkan pesantren untuk kepentingan tertentu. Terutama kelompok radikal yang berupaya menyebarkan sel-sel paham radikalisme dengan mendirikan pesantren. Tujuannya jauh menyimpang dan berbeda jauh dengan pesantren salaf yang sebenarnya. Pesantren hanya sebagai kamuflase untuk meluaskan doktrin paham radikal. Tidak hanya kultur awal pesantren yang hilang, namun juga isi pengajaran di dalamnya adalah penyemaian bibit-bibit terorisme.

Kiat-kiat Memilih Pesantren Bebas dari Paham Radikalisme

Menjamurnya kamuflase pesantren saat ini menuntut untuk selektif dalam memilih pesantren. Tidak hanya untuk menyelamatkan generasi muda tapi juga untuk mereduksi laju radikalisme di Indonesia. Sebagaimana diketahui secara nyata, akibat dari paham radikalisme adalah terbentuknya pribadi yang intoleran, suka kekerasan dan teror. Bahkan, paham ini menghendaki perubahan sistem negara berdasar pada formalitas hukum Islam.

Padahal, kehendak formalisasi ajaran Islam itu hanya tameng untuk menarik minat umat lebih mudah bergabung dengan mereka. Tujuan asalnya tidak ada lain hanya untuk memuluskan tujuan politik kekuasaan.

Kembali pada ulasan bagaimana memilih pesantren yang tepat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama, sanad keilmuan. Kiai, sebagai patron utama pesantren secara umum memiliki sanad keilmuan yang jelas. Sanad keilmuan adalah mata rantai transmisi pengetahuan ilmu agama. Secara umum sanad keilmuan itu dimiliki oleh para pemangku pesantren salaf. Ia memiliki guru yang jelas sejarah keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Hal ini sangat penting karena ilmu agama yang orisinil adalah ilmu agama yang disampaikan secara turun menurun secara “mutawatir”.

Fakta terkini, beberapa pesantren yang berafiliasi dengan kelompok radikal tidak memiliki rantai sanad keilmuan yang bersambung secara berantai sampai kepada Rasulullah. Konsekuensinya sangat berbahaya, lahirnya paham keagamaan yang menyimpang seperti paham radikal berawal dari sini.

Kedua, pesantren memiliki akidah yang jelas, yakni ahlussunah wal jama’ah (Aswaja). Karena, hanya pesantren yang teguh memegang akidah ahlussunah wal jama’ah yang konsisten mengajarkan ilmu agama secara utuh sekaligus nalar kebangsaan. Di Indonesia, Aswaja di pedomani terutama oleh organisasi keagamaan terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, rumusan Aswaja an Nahdliyyah yang dirumuskan oleh NU sama persis dengan rumusan ulama Aswaja se dunia yang digelar beberapa tahun lalu di Chechnya.

Tanpa menafikan ormas lain seperti Muhamadiyah, NU berhasil secara nyata dalam membentangkan penyebaran ilmu agama yang wasathiyyah (moderat) dengan nalar kebangsaan yang baik.

Karenanya, tidak ada satu pun pesantren NU yang berafiliasi atau terkontaminasi paham radikal. Lebih dari itu, tidak satu pun santri alumni pesantren NU yang menjadi teroris.

Alhasil, memilih pesantren harus mengetahui akidah yang dipedomani di pesantren tersebut. Apabila akidahnya tidak jelas, besar kemungkinan pesantren tersebut merupakan kamuflase untuk penyebaran paham radikal.

Ketiga, melihat materi pelajarannya. Idealnya sebagaimana tradisi pesantren salaf, pesantren yang baik mengajarkan beberapa disiplin ilmu penting dalam agama, seperti akidah, fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadits dan seterusnya. Pesantren tidak hanya mengajarkan membaca al Qur’an atau menghafalnya saja.

Beberapa disiplin ilmu di atas sebagai penopang untuk memahami ayat-ayat al Qur’an dan hadits secara benar dan tepat. Fakta ditemukannya beberapa ustadz di media sosial yang salah menafsirkan ayat al Qur’an dan hadits tidak lain penyebabnya karena tidak menguasai materi keagamaan seperti telah disebutkan.

Keempat, legalitasnya jelas. Legalitas atau perizinan pesantren penting diketahui. Sangat mungkin, pesantren yang tidak memiliki izin secara resmi dari Kementerian Agama adalah pesantren yang didirikan hanya untuk tameng dari tujuan tertentu.

Kelompok radikal yang belakangan juga mendirikan pesantren karena saat ini pesantren menjadi lembaga pendidikan ideal. Masyarakat menggandrungi pesantren karena menjanjikan pendidikan agama yang baik sekaligus pendidikan yang sifatnya duniawi. Demi menipu masyarakat muslim kelompok radikal kemudia juga ikut mendirikan pesantren.

Karenanya, selektif memilih pesantren adalah suaru keharusan agar anak kita menjadi pribadi sebagaimana tujuan pesantren itu didirikan. Pada dasarnya, tujuan didirikannya pesantren yaitu untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah, memiliki akhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat (Syamsul Ma’arif, Pesantren Vs Kapitalisme Sekolah, 2008).

Sebagai kalam penutup, pesantren melahirkan out put yang memiliki basis ilmu agama yang baik dan kuat, berakhlak mulia, bermanfaat bagi manusia sebagaimana misi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, mencintai negara dan tidak suka menebar teror dan kekerasan. Dan, pastinya pesantren tidak mencetak teroris. Kalau ada pesantren yang menyebarkan paham radikal, anti Pancasila dan berafiliasi dengan kelompok radikal, maka yakinlah, itu pesantren kamuflase.

This post was last modified on 12 Juli 2023 1:34 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago