Narasi

Gotong Royong, Jiwa Kemerdekaan Indonesia

Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lobis-kuntul-baris buat kepentingan bersama

(Ir. Soekarno)

Soekarno dalam kesempatannya memberikan argumen atas rumusan dasar negara pernah mengatakan bahwa jika kelima sila dalam Pancasila diperas menjadi eka sila maka ia adalah gotong royong (Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, 2013). Nilai gotong royong inilah sekiranya menjadi inspirasi bagi negara untuk mengembalikan gotong royong sebagai jiwa dari kemerdekaan itu sendiri. Bangsa ini lahir dan merdeka dikarenakan seluruh elemen bangsa bergotong royong memperjuangkan kemerdekaan. Pun, pada elemen masyarakat terkecil  aktualisasi gotong royong merupakan keniscayaan yang secara fitrah melekat dalam sikap dan perilaku. Sebagai ruh, nilai gotong royong telah hadir sebagai ikatan (ligatur) yang mengikat komitmen kebangsaan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini seluruh masyarakat bersuka cita untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 72. Secara simbolik, seluruh masyarakat di Indonesia mengagendakan berbagai kegiatan guna menyambut kemerdekaan, salah satu yang hampir dipastikan ada adalah gugur gunung (gotong royong). Gotong royong sebagai suatu kearifan lokal dimana secara genetik diwariskan secara turun temurun mengilhami karakter dan jati diri bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini bukanlah bangsa yang individualis dan oportunis, akan tetapi bangsa yang mengedepankan kebersamaan (komunalitas) dalam menata peri kehidupan bernegara, pun dalam menyelesaikan persoalan. Tentunya nalar tersebut sejalan dengan prinsip ke-bhinneka-an kita yang sangat menghormati pluralism sebagai kenicayaan berbangsa.

Pemeritahan Presiden Joko Widodo, mensosialisasikan  tema (taqline) kemerdekaan kali ini adalah kerja bersama, yang secara ideologis ingin kembali menegaskan bahwa capaian atas kemerdekaan serta keberhasilan bangsa ini tidak lain merupakan kerja bersama seluruh elemen, tanpa kecuali. Hal ini juga menjadi pengingat atas kerja-kerja besar yang dilakukan oleh para founding father di masa lalu untuk kemudian diwarisi kembali dan diteruskan. Mentalitas menerabas dan individulistik bukanlah karakter kepemimpinan yang diharapkan dalam membangun serta mengisi kemerdekaan.

Diusianya yang tidak lagi muda, bangsa Indonesia harus terus berbenah, narasai Ke-Indonesia-an harus terus diperkuat dengan meneguhkan Pancasila. Komitmen kita atas Pancasila dan aktualisasi dari gotong royong akan menjadi benteng bagi bangsa ini untuk teguh dalam khittahnya sebagai bangsa yang beradab, cinta damai, toleran, dan anti segala bentuk imperialis. Terwujudnya bangsa Indonesia yang damai tentunya tidak terlepas dari partisipasi aktif rakyat Indonesia untuk memahami betul bagaimana pengorbanan yang harus dibayar untuk meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, disamping perayaan suka cita yang terlihat secara simbolik atau ritual, maka yang jauh lebih penting adalah pemaknaan atas historikal perjuangan kemerdekaan itu sendiri.

Bangsa ini telah merdeka secara fisik, namun disela-sela itu sudahkah sejatinya bangsa ini ‘merdeka’ dari penjajahan global dimana pertarungan tidak lagi ada pada ranah fisik namun sudah masuk lebih jauh pada aspek budaya, teknologi, dan proxy war. Rumusan sebagai negara yang merdeka sudah pernah disampaikan oleh Soekarno yang dikenal dengan istilah Tri Sakti, bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki sifat: Berdaulat secara politik, Berdaulat (berdikari) secara ekonomi, dan Berkepribadian yang berkebudayaan. Momentum kemerdekaan yang akan kita peringati pada tanggal 17 Agustus nanti harus menjadi pelecut bagi kita untuk secara konsekuen mengembalikan seluruh kedaulatan bangsa, baik pada aspek politik, ekonomi, dan budaya. Dan kuncinya ada pada kerja bersama (gotong royong) untuk mewujudkan pembangunan yang beradab, humanis, merata, dan berkeadilan sosial.

Kedaulatan atas negara merdeka adalah keniscayaan, dan amanah inilah yang harus diemban oleh seluruh elemen bangsa. Secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945, kita telah menyatakan kemerdekaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menolak segala bentuk imperialisme (penjajahan) karena tidak selaras dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Misi inilah yang akan terus kita perjuangan sebagai bangsa yang merdeka. Dan, hanya dengan bergotong royong semua cita-cita beserta tujuan negara sebagaimana termaktub dalam aline IV Pembukaan UUD 45 akan terwujud. Dirgahayu Republik Indonesia, semoga semakin jaya dan senantiasa merawat kebhinnekaan sebagai bagian dari jati diri bangsa.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago