Narasi

Gotong Royong untuk Memperkuat Persekawanan Nasional

Persekawanan nasional dalam ragam kemajemukan kita kini semakin mendapatkan perhatian serius oleh segenap elemen bangsa, tak terkecuali oleh pemerintah sendiri. Sebab persekawanan itu harus diakui mulai memudar. Atau lebih ekstrimnya, ada kelompok-kelompok tertentu yang secara sengaja ingin memudarkannya. Kelompok inilah yang selanjutnya disebut kelompok radikal.

Alih-alih mengatasnamakan ajaran agama, mereka tidak saja melakukan pentakfiran terhadap umat lain yang tidak sealiran dan/atau seagama. Lebih dari itu, mereka juga tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan. Walhasil, kegaduhan bangsa kini kian nampak sering mengemuka di negeri kita. Salah satunya ialah perihal ormas-ormas yang dianggap radikal (dan selanjutnya dibubarkan).

Lebih parah lagi, ada pula pihak-pihak yang menyisipi isu-isu politik, kemanusiaan dan sejenisnya dengan isu-isu agama. Yang akibat hal tersebut, pada gilirannya, bangsa kita seolah tidak lagi satu. Indonesia seolah pecah antara Indonesiaku dan Indonesiamu. Bukan Indonesia kita. Juga ada pihak-pihak yang mengaku paling Pancasialis, sementara yang lain kurang dan bahkan tidak sama sekali. Juga begitu nampak bahwa seolah kita ini terbelah dan pecah antara umat dan non-umat, pribumi dan non-pribumi, dan sejenisnya.

Berbarengan dengan arus globalisasi yang arusnya semakin deras tanpa batas, hal itu kemudian disulut dengan beragam ujaran kebenian, provokasi, fitnah, hoax, dan sejenisnya yang disebar merata di berbagai media massa khususnya di media social (medsos). Oleh sebab itu, sekarang ini bisa dengan mudah dijumpai beragam ujaran fitnah, profokasi dan sejenisnya itu facebook, twitter, instagram dan yang lainnya.

Yang membuat semakin ironis, konon bahkan ada pihak yang menawarkan jasa itu (mengumbar kebenian, hoax dan sejenisnya) dengan bayaran puluhan juta rupiah. Kini kasus itu sedang dalam pendalaman pihak aparat kepolisian. Semoga segera menemui titik kejelasan, dan jika terbukti demikian, yang bersangkutan diberi ganjaran setimpal. Karena hal itu, meskipun ujaran kebencia ada sebagia pihak yang menganggap remeh temeh, tetapi jika tidak ditanggulangi sejak dini dampak yang akan dilahirkan akan sangat luar biasa.

Keregangan Nasional

Tidak saja kegaduhan nasional di dunia maya, di samping keregangan persekawanan, kerusuhan sosial juga tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Barangkali persekusi adalah contoh nyata yang belum lama ini digalakkan oleh sekelompok orang kepada pihak tertentu, akibat pihak tersebut melakukan ujaran kebenian di dunia maya, dan selanjutnya berimbas pada dunia nyata.

Untung saja, aparat kepolisian segera melarang tindakan persekusi itu. Jika tidak, tindakan yang sarat intimidasi itu bisa menjurus kepada perang saudara. Sudah banyak contoh konflik di berbagai daerah Indonesia yang berawal dari hal sepele. Namun setelah “disulut api dan disiram bensin”  pihak lain, konflik itu kemudian membesar dan sulit diredam.

Konflik Sampit dan Sambar misalnya, membesar karena adanya perbedaan suku. Selanjutnya konflik di Ambon, membesar terjadi lantaran perbedaan agama. Dan konflik di Sampang, usut punya usut membesar karena adanya perbedaan aliran. Setelah ditelisik lebih lanjut dan mendalam, ternyata konflik-konflik tersebut hanya dipicu kriminalitas biasa.

Tidak bisa dielakkan dan dinafikan, bahwa karena disulut sentimen SARA, kemudian konflik tersebut mudah sekali, tidak saja meletup tetapi juga meledak. Dalam pepatah Jawa, inilah yang disebut “Sepele dadi gawe”. Sesuatu yang kecil tetapi dampaknya bisa begitu besar dan berkepanjangan.

Galakkan Gotong Royong

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ancaman kebhinekaan Indonesia sudah nampak begitu jelas sekali. Di samping kelompok-kelompok radikal, ada pula kelompok-kelompok provokatif penebar kebenian, untuk tidak mengatakan keduanya berkaitan erat dan saling berkelindan.

Sementara itu, prinsip yang perlu dipahami adalah bahwa kemajemukan Indonesia merupakan suatu realitas yang tidak dapat dinafikan. Karena kemajemukan itu, maka perbedaan satu sama lain juga tak dapat dihirdankan. Tidak disulut saja, akibat perbedaan itu, konflik dan disintegrasi berpeluang besar terjadi. Apalagi jika disulut, tentu hal yang lebih dari itu juga sangat berpotensi terjadi dan bahkan bisa lebih cepat.

Oleh sebab itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti konflik sosial, disintegrasi nasional dan bahkan Indonesia bubar, sudah sejatinya bibit-bibit penyebabnya tidak perlu diberi ruang sedikitpun untuk bergerak alias dimatikan.

Hemat penulis, ada dua cara yang perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok yang sengaja ingin memecah belah NKRI, yaitu cara stuktural dan kultural. Cara pertama ini berkaitan erat dengan peran pemangku kebijakan, yakni pemerintah. Peran ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah, di antaranya adalah membuat aturan main (peraturan) yang begitu rupa, yang memungkinkan mereka tidak dapat bergerak secara leluasa, seperti UU Ormas dan UU ITE.

Pemerintah patut diapresiasi karena, selain membuat, pemerintah juga berusaha menegakkan aturan main itu. Ini bisa dilihat dari banyaknya pihak yang ditindak sesaat melakukan pelanggaran peraturan itu.

Namun agaknya cara pertama tidaklah cukup jika tidak diimbangi dengan cara kedua, yakni secara kultural. Salah satunya ialah dengan penanaman semangat gotong royong kepada masyarakat. Semangat ini adalah khas Indonesia. Sebagaimana dikatakan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945, bahwa gotong royong merupakan jiwa masyarakat Indonesia.

Namun agaknya budaya ini sudah mulai memudar digerus zaman yang semakin “edan”. Sikap individualistik-materialistik mulai mewabah pada masyarakat kita. Walhasil, jiwa kebersamaan itu nyaris hilang. Jika sudah demikian, setiap pribadi tak akan sungkan lagi alias tega melihat saudaranya disakiti.

Selama ini sudah cukup banyak dialog, baik inter maupun antarumat beragama misalnya. Namun itu belum menyentuh pada tataran akar rumput. Maka gotong royong menjadi alternatif yang perlu digalakkan (kembali) di tengah derasnya propaganda kelompok radikal dan sejenisnya. Sebab dengan gotong royong, setiap elemen masyarakat hingga tingkat akar rumput akan dapat saling berinteraksi sosial.

Tak terkecuali di antaranya yang berbeda keyakinan. Mereka berkesempatan untuk saling mengenal dan bekerja sama. Di sinilah persekawanan nasional akan terjaga dan bahkan semakin kuat. Lebih dari itu, mereka tidak mudah diadudomba. Wallahu’alam

 

This post was last modified on 19 September 2017 3:12 PM

Kumarudin

Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Uin Walisongo Semarang dan Aktifis HMI

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago