Narasi

Spirit Lokal Sebagai Benteng Indonesia Dari Radikalisme

 “Kalau jadi orang hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan Adat dan Budaya Nusantara yang kaya raya ini”. (Ir. Sukarno)

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang besar, terbentang luas dari Sabang samapi Merauke dengan segala surga alam berada di dalamnya. Namun selain kekayaan alamnya Indonesia juga kaya akan kearifan lokalnya berupa kebudayaan, tradisi dan adat istiadat. Bahkan bisa dikatakan Indonesia negara yang besar karena budayanya. Ungkapan Ir. Sukarno di atas menekankan kepada kita betapa pentingnya kita mengakui dan menjaga identitas kita, menjaga tradisi dan kebudayaan Nusantara ini. Kalimat tersebut juga merupakan pesan dari sukarno untuk seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga adat budaya Nusantara. Tidak perlu menjadi orang lain dengan mengikuti identitas orang lain cukup menjadi diri sendiri, menjadi orang Indonesia dan melestarikan adat dan kebudayaannya.

Kekayaan tradisi dan kebudayaan merupakan pondasi utama dalam sebuah tatanan kemasyarakatan. Masyarakat berinteraksi antara satu dengan yang lain melalui sentuhan budaya. Bahkan agama yang sekatrang menjadi agama mayoritas di Indonesia, agama Islam masuk ke Indonesia juga melalui akulturasi budaya. Islam yang diramu oleh para wali songo untuk kemudian disesuaikan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk memeluk agama Islam tanpa adanya peperangan dan kekerasan.

Meminjam sebuah ungkapan Sayyidina Umar bin Khattab, “Merujuk kembali kepada yang benar lebih baik daripada berlarut-larut mempertahankan yang salah”. Ungkapan Umar bin Khattab tersebut pernah ditegaskan oleh KH MA Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU 1999-2014 ketika memberikan khutbah iftitah dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pesantren Kempek Cirebon, 15 September 2012. Kyai sahal melihat bangsa Indonesia semakin terlena dalam menghadapi beragam situasi. Harus diakui bahwa di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan, baik karena belum tersentuh dari upaya reformasi, maupun dikarenakan ekses dari reformasi. Seringkali perilaku dan gerakan kita kontra produktif, bahkan melampaui batas-batas yang sudah ada.

Dari sini, tempat yang ditegaskan pula oleh Al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali “Segala sesuatu yang melampaui batasnya akan kembali kepada hal yang sebaliknya”. Batas-batas segala sesuatu seringkali kabur. Oleh karena itu agama memberikan panduan yang jelas dan tegas. Para ulama juga telah memberikan jalan gerakan strategis melalui ushul fiqih dan kaidah fiqih sehingga pola kehidupan di era global ini memiliki rujukan yang standar. Disinilah spirit lokal menjadi salah satu alternatif. Para ulama dengan beragam pesantren yang didirikan menajadi protipe gerakan membangun masyarakat, sinergi antara idealitas Islam dan produk lokal Nusantara. Islam diterjemahkan dalam kerangka produktif. Sehingga batas-batas hidup yang ada di dalam Islam bisa berjalan dengan baik, disaat yang sama spirit lokal menjadi potensi kekhasan yang bernilai strategis untuk menjadi identitas bangsa dan juga benteng dari budaya asing.

Melestarikan Bersama

Spirit kearifan lokal bukanlah kembali pada masa lampau. Melainkan kembali kepada kebenaran (muroja’atul haq) yang sudah diteladankan dengan beragam contoh yang sudah menjadi keseharian dalam kehidupan di masyarakat. Adat istiadat serta kebudayaan harus dapat dikuasai oleh seluruh masyarakat Indonesia, menjadikan spirit kearifan lokal sebagai basis gerakan dalam ekonomi, sosial, politik, kebangsaan, dan kenegaraan.

Kearifan lokal harus dijaga dan dilestarikan bersama. Pelestarian tersebut dilakukan dengan cara menjaga dan mengembangkan adat istiadat dan budaya bangsa, termasuk budaya Jawa yang menjadi salah satu budaya asli bangsa Indonesia. KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) pernah menyampaikan pandangannya mengenai kearifan lokal, “Memperkokoh kearifan lokal sebagai pondasi pembangunan karakter bangsa”. Pandangan dari KH. Musthofa Bisri dapat kita jadikan rujukan mengenai kearifan lokal, bagaimana kearifan lokal tersebut merupakan sebuah pondasi untuk membangun karakter bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan melestarikan kebudayaannya.

Upaya dalam memperkokoh kearifan lokal bangsa dapat dilakukan dengan bersama-sama merawat serta melestarikan kearifan lokal yang telah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Menghidupkan kembali kearifan lokal dengan melestarikan budaya asli bangsa. Kerifan lokal harus mampu menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari anacaman terorisme, gerakan radikal, dan ujaran kebenciaan yang mengancam kebudayaan bangsa. Masyarakat Indonesia harus bersatu padu dalam melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia, menjadikan kearifan lokal sebagai jati diri bangsa agar tidak mudah kemasukan budaya-budaya asing terlebih budaya radikal dan terorisme.

Ahmad Lailatus Sibyan

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago