Narasi

Grebeg Syawal; Selebrasi Idulfitri dalam Bingkai Pribumisasi Islam

Ada beragam cara umat Islam Indonesia dalam merayakan Idulfitri. Di banyak wilayah, selebrasi Idulfitri telah berkelindan dengan beragam tradisi. Melahirkan sebuah ekspresi keberagamaan baru yang ikut memperkaya khazanah keislaman itu sendiri. Salah satu wujud selebrasi Idulfitri berbalut tradisi itu adalah Grebeg Syawal yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta.

Tepat pada hari raya pertama Idulfitri, puluhan abdi dalem Keraton Yogyakarta melakukan long march dari halaman Keraton menuju Masjid Agung. Para abdi dalem itu membawa lima macam Gunungan yang disusun dari beragam makanan dan panganan. Gunungan berjumlah lima itu menggambarkan rukun Islam.

Salah satu penganan yang wajib ada dalam Hubungan itu adalah Apem. Yakni makanan tradisional yang terbuat dari campuran tepung beras, santan, dan parutan kelapa yang dikukus. Konon, nama Apem itu berasal dari serapan kata dalam Bahasa Aran, afwan atau affuwun yang berarti memohon maaf.

Apem menjadi simbol Idulfitri yang menjadi momentum umat Islam saling memaafkan. Tradisi Grebeg Syawal ini sebenarnya merupakan adaptasi dari tradisi yang sudah ada sejak wes Mataram Kuno (pra Islam). Kalau itu, para raja Mataram gemar memberikan sedekah rakyat dengan ritual grebegan.

Tradisi itu lantas diadaptasi oleh para penyebar Islam di Tanah Jawa, yakni Walisongo dengan memberi sentuhan Islam. Sampai sekaranf, tradisi itu tetap dilaksanakan selain sebagai ritual merayakan Idulfitri juga sebagai atraksi pariwisata yang menarik bagi turis lokal maupun asing.

Fenomena Grebeg Syawal bisa dikatakan sebagai representasi apa yang disebut Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam”. Yakni bertanya dua entitas yakni Islam di satu sisi dan budaya Jawa di sisi lain. Perjumpaan itu terjadi bukan untuk saling meniadakan; Islam menghapus budaya Jawa atau sebaliknya, budaya Jawa berusaha menentang Islam.

Pribumisasi Islam juga bukan sinkretisme ataupun Jawanisasi. Pribumisasi Islam adalah upaya membumikan ajaran Islam agar sesuai dengan nilai budaya lokal, namun tanpa kehilangan jatidiri keislamannya.

Pribumisasi Islam ini tampak pada sejumlah hal. Dalam konteks fisik, misalnya bangunan menara Masjid Kudus yang menyerupai bangunan candi. Atau dalam berbagai seni dan tradisi yang merupakan akulturasi antara Islam dan budaya lokal.

Pentingnya Pribumisasi Islam untuk Menghindari Konflik Agama dan Budaya

Paradigma pribumisasi Islam ini menarik sebagai sebuah mekanisme untuk menghindari benturan antara dua entitas, yakni agama di satu sisi dan kearifan lokal di sisi lain. Dalam konteks Grebeg Syawal misalnya, awalnya tradisi ini dikskukan oleh raja-raja Mataram Kuno. Setelah Islam datang, tradisi ini sempat hilang. Lalu, masyarakat menuntut agar tradisi ini dikembalikan.

Lalu, diambillah jalan tengah, yakni menggelar grebeg pada tiap tanggal 1 Syawal (Idulfitri), 10 Dzulhijjah (Iduladha) dan 12 Rabiul Awal (Maulid). Alhasil, masyarakat pun senang; budaya Jawa bisa dilestarikan tanpa harus bertentangan dengan ajaran Islam. Strategi para pendakwah Islam awal di Jawa ini sangat jenius.

Jalan tengah menjadi kata kunci untuk menyelesaikan masalah. Alih-alih menerapkan Islam secara kaffah dan murni (puritan) sebagaimana dipraktikkan di kawasan Arab, Walisongo justru menempuh jalur lain, yakni jalur kultural. Strategi dakwah yang seperti itu berhasil menyebarkan Islam di seluruh Nusantara dan membuat warga Islam Indonesia hari ini berbeda dengan negara muslim lainnya.

Islam Indonesia dikenal toleran dan moderat hari ini salah satunya karena sumbangsih dakwah kultural Walisongo yang adaptif pada kebudayaan lokal. Maka, merawat tradisi seperti Grebeg Syawal ini penting. Bukan hanya sebagai seremonial tahunan belaka, namun sebagai manifestasi dari merawat kultur keberislaman yang toleran dan inklusif.

Grebeg Syawal yang dilakukan pada tanggal 1 Syawal menggambarkan berakhirnya bulan Ramadan dan awal bulan Syawal. Lima Gunungan yang diarak dan dibagikan merupakan wujud rasa syukur telah melewati bulan Ramadan. Dalam tradisi Jawa, bentuk Gunungan yang mengerucut ke atas adalah simbol perjalanan spiritualitas.

Gunungan yang lancip di atas bak piramida menandakan bahwa tidak semua pejalan spiritual akan sampai pada puncak tertinggi, yakni makrifatullah. Hanya manusia terpilih yang bisa sampai ke puncak perjalanan spiritual. Yakni mereka yang mampu menundukkan hawa nafsunya dan membersihkan jiwa dan pikirannya dari berpikir selain Allah.

Insan yang sampai pada puncak tertinggi spiritualitas itu akan tampak dari perilakunya; cara berbicaranya dan bagaimana ia memperlakukan orang lain. Seorang yang meraih puncak spiritualitas adalah insan kamil, yakni pribadi sempurna yang berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan ajaran Allah.

Nurrochman

Recent Posts

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

22 jam ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

22 jam ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

22 jam ago

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

2 hari ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

2 hari ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

2 hari ago