Adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche yang kali pertama menyatakan bahwa musik tak sekedar rangkaian nada yang terstruktur yang memiliki fungsi menghibur. Dalam sebuah film, When Nietzsche Wept (2007), terdapat adegan dan sepenggal gumam dari sang tokoh utama yang tengah ekstase dalam alunan musik, Nietzsche, “Wagner you’ve made music sick!”
Hubungan Nietzsche dan Richard Wagner, seorang komponis ternama, pernah terjalin bagus ketika sang filosof godam tersebut masih terpengaruh oleh pesimisme Arthur Schopenhauer. Dan ketika Nietzsche menemukan adanya sebentuk nihilisme pasif dan dekadensi yang melanda Eropa, khususnya Jerman, ia tak lagi ta’dzim pada Schopenhauer dan Wagner. Baginya, mereka berdua, Schopenhauer dalam bidang filsafat dan Wagner dalam bidang musik, sama-sama mencerminkan semangat nihilisme pasif, dekadensi, dan otomatis ressentiment dan insting kerumunan.
Ressentiment dan insting kerumunan (herd instinct) merupakan karakteristik utama yang mendera para pecundang kehidupan tapi berupaya mengkambinghitamkan budaya para pemenang. Para pecundang yang sakit hati inilah yang kemudian, dalam perjalanan sejarahnya, melahirkan apa yang Nietzsche sebut sebagai moralitas budak: tabah (tapi menggerutu) atas segala lara dunia yang diterima dengan kompensasi kebahagiaan di alam baka—bandingkan dengan “teologi maut”-nya kalangan teroris kontemporer IS.
Bagaimana logikanya bahwa musik dapat mencerminkan pula semangat dan budaya yang melingkupinya? Saya kira musik, untuk membedakannya dengan lagu, pada dasarnya adalah sebentuk komunikasi. Pada musik orang tak akan menemukan sebentuk pemahaman yang bersifat kognitif, tapi sebuah suasana. Dan jelas, suasana adalah perkara yang berkaitan dengan rasa dan bukannya nalar.
Baca Juga : Sunan Bonang, Syair Tombo Ati dan Warisan Toleransi
Logika musik adalah logika di mana orang dapat dengan mudahnya hanyut dalam sebuah alunan komposisi musik tanpa harus mengerti apa maknanya. Efek yang ditimbulkannya dapat berupa muram, marah, terbuang, dst., yang berkaitan dengan imajinasi dan suasana hati. Dan inilah sebentuk konstruksi mental yang kadang tak banyak orang tahu atas efek yang dapat ditimbulkannya. Pada musik modern ber-genre grunge seumpamanya, dengan mudah orang menangkap sebentuk suasana yang muram dan terbuang. Karena itu, banyak musisi grunge yang memilih bunuh diri entah secara langsung dengan ngendat (gantung diri) atau meledakkan kepalanya sendiri dengan pistol, dan bunuh diri secara tak langsung: OD.
Dengan demikian mental suicide bomber yang lazimnya melekat pada para teroris kontemporer sejenis IS, pada dasarnya secara potensial juga dipunyai oleh para musisi berkarakter dekaden baik secara estetis maupun moral. Hanya saja pada kasus mental bunuh diri pada kalangan musisi dekaden tak pernah, dalam sejarahnya, diarahkan untuk mencelakakan orang lain sebagaimana kalangan teroris kontemporer IS. Tapi pada tataran mindset, mereka sama-sama nihilistik, dekaden, memendam ressentiment dan berinsting kerumunan.
Tapi yang patut diketahui, tak semua jenis musik berwatak dekaden dan memiliki efek yang sesuasana dengan “teologi maut.” Pernah dalam sejarahnya, misalnya, beberapa komposisi gending Jawa klasik diperdengarkan di penjara Alcatraz sebagai media untuk menderadikalisasi para narapidananya.
Saya kira musik berkaitan pula dengan gelombang otak yang dimiliki manusia. Pada musik-musik sejenis Gending Ageng ataupun Ketawang, ketika hanyut dalam alunan nadanya, gelombang otak manusia akan berkisar pada 8-12 Hz. Atau pada kasus sholawatan klasik gaya pedesaan, gelombang otak manusia yang hanyut dapat mencapai 3-8 Hz. Pada kasus orang-orang radikal ataupun para teroris, gelombang otak mereka, saya perkirakan, berkisar 12-30 Hz—atau pada suasana menjelang melakukan bom bunuh diri: 25-100 Hz. Jadi, dengan kata lain, di atas kertas, melalui gelombang otak tersebut, orang-orang radikal ataupun para teroris sebenarnya dapat dengan mudahnya diidentifikasi.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…