Keagamaan

Haji; Menyatukan Umat Berdasarkan Keimanan, Bukan Kekuasaan

Perbedaan di dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan. Tiada orang yang mampu menghapus apalagi melenyapkan. Pun, perbedaan bukanlah aib yang mesti diberangus. Justru, perbedaan yang dikelola dengan baik akan menjadi rahmat. Dalam rangka memersatukan perbedaan yang ada, terdapat kelompok yang memaksakan diri agar tercipta kepemimpinan tunggal dalam Islam (baca: Khilafah). Hanya saja, dalam praktiknya, upaya ini justru ingin memberangus perbedaan yang ada. Atribut-atribut kedaerahan yang sudah lama mengakar di daerah ditumpas dengan mengganti atribut Arab. Baginya, atribut selain Arab adalah bid’ah dan pemakainya sesat. Cara yang digunakan pun tidak mencerminkan seorang yang beragama Islam.

Maka, tanpa harus membawa panji khilafah, ibadah haji merupakan momentum yang sangat tepat untuk menyatukan umat muslim seluruh dunia. Pada pelaksanaan ibadah rukun Islam yang kelima ini, umat muslim sedunia berkumpul menjadi satu di Makkah al-Mukaramah. Tanpa mengenal suku dan ras, mereka bak satu barisan yang sama menghadap panggilan Allah. Tidak ada perbedaan antara orang yang kaya ataupun miskin, tua atupun muda, berkulit putih ataupun hitam. Semua berkumpul menjadi satu dengan menggunakan satu pakaian yang sama, warna putih.

Dalam pelaksanaan semacam ini, hendaknya seluruh jamaah haji merasa bahwa dirinya merupakan orang yang sama dengan jamaah yang lainnya. Ia hanyalah seorang hamba yang sangat lemah di sisi Allah. Tidak ada daya upaya apapun yang dapat dilakukan di hadapan Allah. Kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana yang diperintahkan Allah selalu dijaga. Ukhuwah islamiyah menjadi modal utamanya. Tidak diperkenankan merasa diri paling baik di hadapan Allah dibandingkan dengan jamaah lainnya. Di saat seperti ini, semua di hadapan Allah bernilai sama. Perbedaan yang ada hanyalah tingkat ketakwaan. Sementara, ketakwaan hanya diketahui oleh Allah belaka.

Saat menjalankan ibadah haji, rasa persamaan kiranya dapat dijaga dengan baik. Namun, ketika mereka pulang ke tanah air sendiri, perbedaan demi perdaan kembali menjadi permasalahan. Padahal, tidak semestinya perbedaan menjadi masalah yang berarti.

Sungguh, perbedaan akan menjadi jalan mendapat karunia Allah manakala dikelola dengan baik. Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Jumu’ah: 10).

Di dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada umat muslim untuk “bertebaran di muka bumi”. Maka, menjadi keniscayaan manakala dalam bertebaran di muka bumi terdapat perbedaan demi perbedaan. Sebagai seorang pedagang, harus menjajakan dagangannya dengan baik. Bagi seorang petani harus menggarap sawah dengan baik. Yang sopir harus mengemudikan kendaraan. Begitu seterusnya. Hanya saja, meski berbeda harus ada satu tujuan bersama, yakni mencari karunia Allah.

Dalam kehidupan nyata juga harus dipahami bahwa perbedaan tidak selamanya harus disatukan dalam satu jenis. Dalam bidang budaya, pemerintahan, dan lain sebagainya, umat muslim mesti memahami bahwa perbedaan yang ada bukanlah hal yang menakutkan dan harus diseragamkan. Biarkan orang bermacam-macam dalam mencari kehidupan, memiliki sistem pemerintahan, dan memiliki budaya yang beragam. Semua akan dapat disatukan dalam bingkai keagamaan manakala memiliki tujuan bersama, yakni mencari karunia Allah.

Mencari karunia Allah tidak harus bergamis, berkata-kata Arab, hingga membentuk negara yang ke-Araban. Lebih dari itu, mencari karunia Allah dapat dicapai dengan menapaki jalan masing-masing dengan niatan mencari ridla Allah. Sebagai konsekuensi, dalam rangka mencari ridla Allah, maka harus berjalan di rel agama Islam. Jangan sampai perjalanan hidup seorang muslim yang beragam melenceng dari yang telah digariskan agama.

Sebagai kata akhir, marilah momentum haji dijadikan wahana untuk mengingatkan diri bahwa di dunia mesti beragam. Namun, keberagaman tersebut akan menjadi terarah manakala berjalan atas dasar mencari karunia Allah. Sebaliknya, upaya menyeragamkan (atribut) belum tentu bisa menjadikan umat muslim menjadi padu dalam rangka mencari karunia Allah. Justru, upaya ini bisa jadi sebagai wahana untuk gagah-gagahan. Menghawatirkannya, upaya ini justru menjadi pemicu perpecahan antara umat muslim satu dengan yang lainnya.

Wallahu a’lam.

 

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago