Narasi

Hakikat Kemerdekaan: Merdeka Dari Korupsi dan Radikalisme

Tak bisa dipungkiri bahwa bagi seluruh negara untuk meraih kemerdekaannya secara hakiki, tentu memerlukan sebuah usaha dan perjuangan yang cukup alot. Pun, perjuangan tersebut juga membutuhkan pengorbanan besar dari bangsanya sendiri dan bahkan sampai titik darah penghabisan (nyawa menjadi taruhannya). Begitu pun bangsa Indonesia, salah satu negara yang merdeka berkat perjuangnya sendiri tanpa campur tangan negara lain.

Setelah sekian lama (kurang lebih 350 tahun), bangsa Indonesia berjuang melawan para penjajah yang suka menindas dan mengeksploitasi rakyat pribumi. Maka timbullah inisiatif atau semangat nasionalisme dari rakyat Indonesia untuk meraih sebuah kemerdekaan. Atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan rakyat Indonesia, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya, di jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, Ir. Soekarno.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Soekarno-Hatta dan disaksikan seluruh rakyat Indonesia, maka secara formal menyatakan, baik kepada dunia (negara) luar maupun kepada bangsanya sendiri bahwa sejak saat itu Indonesia telah merdeka. Itu artinya, bangsa Indonesia dapat menentukan nasib rakyatnya sendiri dalam bingkai/wadah yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 Sehingga pada tanggal 17 Agustus, dijadikan sebagai momen paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Terbukti dengan diadakannya “upacara bendera” adalah bentuk upaya pemerintah dan rakyat Indonesia menghormati “hari kemerdekaan Indonesia”. Pun, untuk mengekspresikan hari kebahagiaan tersebut masyarakat Indonesia (perkotaan maupun pedesaan) biasanya menggelar pelbagai lomba. Mulai dari lomba panjat pinang, sepak bola, lomba makan kerupuk, hingga lomba memasukkan paku ke dalam botol dan lomba lari karung.

Namun demikian, pertanyaan yang timbul dalam benak, apakah Indonesia benar-benar merdeka? Bukankah masih banyak penjajah yang menimpa negeri tercinta ini, termasuk penjajahnya masyarakat asli pribumi?

Tentu, kebanyakan orang menjawab bahwa Indonesia telah merdeka. Ya, secara legal formal Indonesia disebut negara merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang pada saat itu. Akan tetapi, secara informal Indonesia masih dijajah oleh warga negaranya sendiri. Di antara penjajah yang sampai saat ini masih eksis adalah mengakarnya tindakan korupsi dan paham radikal.

Merdeka dari Korupsi

Seperti sudah jamak diketahui, bahwa korupsi merupakan problem utama bangsa yang memiliki dampak signifikan dalam kehidupan sosial, seperti ketidakadilan, ketimpangan sosial, kemiskinan, dan lain sebagainya. Sebab, korupsi adalah suatu tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) yang dilakukan oleh seseorang, baik untuk kepentingan pribadi maupun orang lain.

Ironisnya, para pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak jarang memiliki latar belakang pendidikan tinggi (well educated). Mulai dari yang bergelar sarjana, master, hingga doktor. Tentu, mereka (para koruptor) memiliki alasan tersendiri untuk melakukan tindak korupsi. Salah satunya adalah, oportunity (adanya peluang) dan presure (adanya tekanan), baik dari pihak keluarga (kondisi ekonomi yang pas-pasan) maupun yang lainnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan maraknya kasus tindak pidana korupsi di negeri ini adalah; pertama, menggalakkan pendidikan anti korupsi di kalangan anak didik sedini mungkin, kedua, mengurangi pola gaya hidup konsumtif, ketiga, mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang termaktub dalam Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam kehidupan nyata, dan keempat, mengampanyekan bahaya dan dampak dari tindak korupsi bagi kehidupan sosial.

Merdeka dari Radikalisme

Pun, yang tak kala urgennya adalah mengakarnya paham atau gerakan radikalisme mengatasnamakan agama di negeri tercinta. Pasalnya, gerakan ini berpotensi mengancam keutuhan bangsa dengan bermaksud untuk mengganti ideologi negara “Pancasila dan UUD 1945” dengan sistem lain (khilafah). Bahkan untuk mencapai tujuannya, mereka tak segan-segan menggunakan cara kekerasan, memaksakan kehendak, hingga melakukan aksi terorisme.

Meskipun isu radikalisme sudah lama muncul, namun untuk membendung laju gerakan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi membutuhkan strategi yang terstruktur, sistematis dan masif. Oleh karenanya, penting adanya pemahaman secara komprehensif ihwal gerakan radikalisme ini.

Di antara cara yang bisa dilakukan untuk membendungnya adalah; pertama, penanaman ideologi Pancasila, baik kepada masyarakat secara umum maupun pada generasi penerus bangsa secara khusus, kedua, mengembangkan paradigma berpikir dan praktik keagamaan yang inklusif, moderat dan toleran, dan ketiga, memiliki sifat kritis terhadap pelbagai informasi yang beredar khususnya di media sosial.

Sebab, radikalisme hanya bisa tumbuh-subur di tengah masyarakat yang beragama secara eksklusif, intoleran dan taat (tidak kritis) terhadap informasi yang ada. Maka dari itu, penting bagi masyarakat Indonesia (yang notabene masyarakat plural) untuk mengembangkan corak keagamaan yang sesuai dengan komitmen kebangsaan dan falsafah negara (Pancasila).

Oleh karenanya, di usia yang ke-76 tahun ini, Indonesia diharapkan mampu memberantas segala hal yang dapat mengancam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga hakikat dari kemerdekaan tersebut bisa tercapai, yakni merdeka dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi, baik dari sisi eksternal (bangsa lain) maupun internal (warga negara sendiri).

Sebagaimana ungkapan Tan Malaka dalam karyanya Menuju Merdeka 100%, ia menyatakan “Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain”. Wallahu A’lam

This post was last modified on 19 Agustus 2021 2:59 PM

Saidun Fiddaraini

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

3 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago