Narasi

Halalbihalal Pasca Pesta Demokrasi

Ramadhan telah berlalu, euforia lebaran telah meredup, tetapi suasana politik kembali memanas. Hal itu disebabkan oleh pemilihan kepada daerah (Pilkada) di 171 daerah di Indonesia, diantaranya dilaksanakan di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Pilkada tersebut diadakan serentak pada tanggal 27 juni 2018. Bahkan tanggal tersebut dijadikan sebagai  hari libur nasional oleh pemerintah.

Meskipun sebelumnya pada bulan Ramadhan, umat Islam Indonesia telah menahan diri dari perbuatan tercela seperti penyebaran informasi hoaks, perbuatan intoleran, melakukan ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Ditambah dengan momentum Idul Fitri yang merupakan ajang anak bangsa untuk saling bermaaf-maafan. Tetapi ketika Pilkada menjelang, bangsa kita seakan-akan lupa dengan esensi puasa dan lebaran yang telah dilalui.

Di beberapa media sosial seperti Facebook dan Twitter, mulai berseliweran ujaran-ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum-oknum simpatisan dari masing-masing pasangan calon. Penyerangan verbal kepada pribadi juga telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Tentu kita tidak melarang seseorang untuk memilih pasangan calon yang dia kehendaki. Toh, itu adalah hak asasi setiap orang dalam berpolitik. Tetapi, yang kita kecam ialah apabila politik tidak dilakukan secara damai dan santun sehingga bangsa kita menjadi terpecah belah. Jikalau dipikir-pikir, menyedihkan sekali rasanya melihat oknum-oknum yang hanya karena perbedaan pilihan politik, rela menggadaikan identitas kebangsaan mereka bahwa mereka adalah saudara dalam kebangsaan bahkan kemanusiaan. Tentu integrasi bangsa adalah sebuah kewajiban yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anak  bangsa dalam setiap keadaan, termasuk ketika sedang melakukan kegiatan politik

Halalbihahal dan Persatuan Bangsa

Dilansir dari berbagai sumber, istilah halalbihalal pertama kali dicetuskan oleh K.H Wahab Hasbullah pada tahun 1948. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh gejala disintegrasi bangsa yang melanda Indonesia. Di bulan Ramadhan pada tahun yang sama, K.H Wahab Hasbullah diundang oleh Soekarno ke istana negara untuk dimintai pendapat dan sarannya mengenai situasi politik Indonesia yang pada saat itu sedang tidak sehat. K.H Wahab hasbullah lalu mengusulkan agar Soekarno menyelenggarakan acara silaturahmi, karena akan memasuki hari raya Idul Fitri, dan umat Islam disunahkan untuk bersilatrahmi.

Lantas bung karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”

“Itu gampang,” kata Kyai Wahab.

“Begini, para elit politik tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan kan itu dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halalbihahal,” terang Kyai Wahab.

Berdasarkan saran dari kyai Wahab, bung Karno kemudian mengundang semua tokoh politik untuk datang ke istana negara pada hari raya Idul Fitri untuk menghadiri silaturahmi yang diberi judul “halalbihahal”. Hingga pada akhirnya, mereka bisa duduk dalam satu meja dan dapat menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Melihat situasi politik nasional kita hari ini, kita melihat seakan-akan bangsa ini terpecah belah menjadi beberapa kubu yang saling mempertontonkan perilaku politik yang tidak sehat. Aksi saling serang antar simpatisan kandidat juga ikut mengotori dunia maya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah gagasan untuk merekatkan kembali jurang yang telah menganga.

Barangkali, halalbihalal yang dicetuskan oleh K.H Wahab Habullah dapat menjadi alternatif untuk mendamaikan politik yang sedang memanas. Terserah siapa kandidat yang menang nantinya, intinya, kandidat yang menang jangan terlalu tinggi hati dan kandidat yang kalah juga harus berbesar hati. Elit politik dan masing-masing kandidat bisa mengadakan halalbihahal pasca pesta demokrasi (Pilkada) dengan mengundang juga lawan politik beserta simpatisannya. Mereka bisa duduk bersama untuk menyusun rencana dalam membangun daerah masing-masing. Mereka juga bisa bahu membahu dan bekerja sama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sehingga bangsa ini tetap utuh.

Qodri Syahnaidi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

16 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

16 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

16 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago