Narasi

Hijrah Menuju Muslim yang Toleran

Peristiwa Hijrah merupakan salah satu peristiwa yang menyedihkan sekaligus menggembirakan bagi Nabi Muhammad beserta para umatnya. Dikatakan peristiwa yang menyedihkan karena kaum Quraisy sangat kejam terhadap Nabi Muhammad beserta umatnya. Kekejaman itu menjadi salah satu pertimbangan Nabi Muhammad dalam memberi izin kepada 200 pengikutnya untuk pergi ke Madinah secara diam-diam. Otomatis semua keluarga dan harta benda yang dimilikinya ditinggal di Mekah. Kemudian Nabi Muhammad menyusul dan tiba di Madinah pada September 622 M. (Hitti, 2006: 145).

Dikatakan peristiwa menggembirakan karena Nabi Muhammad beserta umatnya diterima dengan baik oleh penduduk Madinah. Di kota ini, umat Islam dan non Islam menunjukkan sikap-sikap toleransi secara nyata. Orang-orang Yahudi bahkan menjadi pihak yang sangat menunggu kedatangan Nabi Muhammad. Mereka juga mendorong teman-teman sebangsanya untuk berpihak kepada Nabi Muhammad (Hitti, 2006: 145). Sedangkan kaum Anshar menerima dengan baik kedatangan kaum Muhajirin, bahkan bersedia memberikan harta bendanya.

Berkaca pada peristiwa Hijrah Rasulullah di era disrupsi ini, kita sebagai umat Islam tentu ingin sekali memiliki sikap-sikap toleran yang sudah dicontohkan Nabi Muhammad beserta umatnya tersebut. Tapi pada kenyataannya justru sikap-sikap intoleranlah yang banyak ditunjukkan, baik di media sosial maupun dalam keseharian. Potensi intoleransi terlihat pada sikap mayoritas muslimin dan muslimah terhadap kelompok-kelompok yang tidak disukainya sebanyak 57,1% dan pada 2016 sebanyak 51,0% (news.detik.com/29/01/18). Sedangkan survey yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2017 terdapat 155 kasus tentang pelanggaran-pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan di 29 provinsi (merdeka.com/27/03/18). Potensi intoleransi yang telah dilaporkan dalam bentuk angka tersebut, bukan saja bisa mengancam keutuhan sebuah kelompok, tetapi juga negara dan agama.

Islam sebagai agama yang sarat nilai-nilai toleransi, telah memberikan banyak pelajaran dalam perstiwa hijrah. Orang-orang yang terdiri dari berbagai macam suku dan kabilah bisa bersatu padu dalam menjalani kehidupan yang damai. Bibit-bibit toleransi ditumbuhkan dari ajaran Islam untuk seluruh penduduk Madinah. Berdasarkan peristiwa ini, tujuah belas tahun kemudian Khalifah Umar menetapkan sebagai awal tahun Islam (Hitti, 2006: 145).

Berpijak pada peristiwa hijrah tersebut dan potensi intoleransi yang ada di Indonesia, maka dalam momen peringatan Tahun Baru Hijriyah 1440 ini, sebagai muslim yang baik sudah seharusnya untuk melakukan hijrah. Sederhananya menjadikan diri sebagai muslim dan warga negara yang lebih baik dari sebelumnya. Secara spesifik, salah satu tujuan hijrah di era disrupsi ini ialah menjadi muslim yang toleran sebagaimana yang telah dicontohkan dalam sejarah.

Menjadi muslim yang toleran memanglah tidak semudah berkata-kata, namun besar kemungkinan untuk dilakukan. Ada banyak lokasi yang bisa dijadikan unuk belajar mengimplementasikan toleransi, baik itu di rumah, sekolah, kampus, kantor, bus, dan tempat-tempat publik lainnya.

Kemudian ada banyak opsi untuk mempraktikkan toleransi, yaitu kepada lawan jenis, teman sendiri, tetangga, kelompok lain, ormas lain, partai lain, anggota kelas lain, kompetitor, agama lain, warga negara lain, dan lain sebagainya. Kita bisa memulai dari yang terkecil dulu, yaitu belajar melaksanakan toleransi kepada sesama teman, kemudian meningkat lagi ke komunitas yang lebih besar. Dalam konteks Indonesia kita bisa menjadikan Gus Dur sebagai contoh yang terdekat dalam mengimplementasikan toleransi tanpa takut diklaim negatif oleh siapapun.

Ketika seseorang sudah berniat menjadi orang yang menjunjung tinggi toleransi, besar kemungkinan itulah yang akan ia dapatkan. Namun jangan sampai toleransi hanya menjadi tujuan, tetapi juga harus dijadikan sebagai sarana untuk berbuat kebajikan atas nama kemanusiaan di manapun tempatnya. Harapannya adalah dengan menjadi muslim yang toleran, angka intoleransi bisa menurun dan bisa menebarkan bibit-bibit toleransi berdasarkan ajaran Nabi Muhammad.

This post was last modified on 10 September 2018 11:44 AM

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

24 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

24 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

1 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

1 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

2 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

2 hari ago