Narasi

Kontekstualisasi Makna Hijrah untuk Persatuan Bangsa

Hijrah Nabi Muhammad dari Makkah menuju Madinah merupakan babak baru perjuangan dan kehidupan. Mereformasi masyarakat Madinah menjadi sebuah masyarakat yang penuh keadilan, kedamaian, dan kemajuan merupakan capaian besar Rasulullah dalam membangun sebuah peradaban yang mampu menjadi referensi bagi masyarakat global. Hasilnya, Rasulullah sukses besar, mampu menjadikan Madinah sebagai prototype pemerintahan yang maju dan modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran jaman saat itu.

Momentum hijrah ini sangat tepat dijadikan refleksi di tengah kontestasi politik Pemilu 2019. Pesta demokrasi adalah anugerah besar bagi bangsa Indonesia, karena menjadi ajang memilih pemimpin bangsa. Sayangnya, di tengah kontestasi itu, banyak yang menggunakan hoax dan fitnah untuk kepentingan sesaat. Tidak jarang malah menggunakana isu SARA untuk memperkeruh suasana kebangsaan dan memecah-belah persatuan dan kesatuan.

Untuk itulah, para pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini harus merefleksikan kembali makna hijrah Nabi.  Jangan sampai kepercayaan dan harapan rakyat disia-siakan, bisa jadi rakyat akan mencabut kembali kepercayaannya. Sukses kepemimpinan Nabi Muhammad juga karena mendapatkan kepercayaan masyarakat yang sangat besar, sehingga Nabi Muhammad bukan saja mendapatkan bantuan dari kaum Muslim, tetapi juga umat beragama yang lainnya.

Bangsa ini masih didera berbagai beragam persoalan, maka perlu semua bergerak untuk menghijrahkan menuju Madinah, menuju bangsa yang modern dan bersaing global dan berakhlaqul karimah.

Konsepsi masyarakat madani yang dibangun Rasulullah merupakan bentuk masyarakat baru yang mempunyai pranata dan aturan main yang jelas, bukan saja berimplikasi kepada kesejahteraan dan kedamaian intern masyarakat muslim semata, tetapi juga seluruh masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang bersatu, beradab, saling menghargai, dan hidup damai berdampingan ditengah-tengah masyarakat yang multi etnis, ras, dan bahkan multi agama.

Konsepsi ini oleh Rasulullah dibuat dalam sebuah perjanjian berupa piagam politik, yang oleh para sejarawan dinamakan The Constitution of Medina atau Piagam Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kebebasan hidup, dan lain sebagainya. Berdasarkan piagam inilah warga Madinah yang majmuk, baik secara politik, agama, budaya maupun sosial-ekonomi, yang biasanya rentan dengan konflik dapat duduk bersama-sama dengan penuh kesadaran guna membangun peradaban yang maju dan modern.

Kontekstualisasi Hijrah

Semua elemen bangsa ini saatnya bersama-sama meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad, karena para pemimpin bangsa ini seringkali masih “enggan” berguru kepada Nabi Muhammad. Akhirnya, banyak yang mengaku Muslim, tetapi “malu” dan “tak berani” mentransformasikan ajaran luhur Nabi Muhammad, apalagi dalam bernegara.

Menghijrah peradaban Indonesia harus dimaknai secara substantif. Yakni lahirnya masyarakat unggul yang memiliki tiga ciri utama; pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu dan kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; kedua, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik; ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Konstruksi masyarakat unggul (high society) di Indonesia sampai detik ini masih berada di persimpangan jalan. Maka, memaknai kembali hijrah secara kontekstual. Jokowi harus berani dengan tegas meniru teladan Nabi Muhammad yang mewariskan peradaban adiluhung.

Pertama, egalitarianisme. Sebuah sistem kemasyarakatan yang selalu mengedepankan keadilan dan kebenaran. Nilai keadilan inilah yang mampu mengangkat citra sebuah negara. Kekuatan hukum yang dibangun Rasulullah tidaklah mendiskriminasikan warga negara, apakah orang kecil, orang jalanan, pejabat, bahkan keluarga dekat sendiri. Sang putri Nabi, Fatimah pun bila mencuri maka yang akan memotongnya adalah Nabi sendiri. Umar bin Khattab, sanga khalifah kedua, pun tidak segan-segan meranjam putra tercintanya karena melakukan perzinaan dengan seorang gadis desa yang murahan.

Kedua, penghargaan seseorang berdasarkan prestasi bukan pada prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain. Dalam konteks ini, kemampuan individu untuk mendarmabaktikan segala ability, experience, dan motivasi perjuangannya untuk membangun bangsa menuju bangsa yang maju dan modern merupakan syarat mutlak bila bangsa ini ingin bangkit.

Dengan hal ini, suatu negara harus mampu memberikan pendidikan sebaik-baiknya atau bahkan menggeratiskan biaya pendidikan bila ingin mencetak SDM yang handal dan bervisi maju kedepan. Majunya sebuah peradaban bila perhatian atas dunia ilmu pengetahuan dijadikan sebagai agenda dan prioritas utama negara.

Ketiga, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat. Membangun masyarakat modern tidaklah lepas dari sebuah keterbukaan (inklusivisme). Dalam arti kemajuan suatu bangsa dapat terwujud bila mampu bangsa itu mampu mengkonsolidasikan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Negara harus merekrut kader-kader potensial bangsa untuk diajak bersama-sama merumuskan agenda pembangunan kedepan yang mencerahkan. Negara tidak boleh membungkam sumbangsih pemikiran kader-kader terbaiknya bila pendapatnya tidak selaras dan tidak sepadan dengan kehendak negara.

Keempat, penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan geneologis (keturunan). Penempatan pejabat dan pegawai bukanlah karena kedekatan dan hubungannya dengan keluarga pejabatnya, tetapi dengan kemampuan managerialnya untuk memanage sebaik mungkin sebuah sistem. Jadi mencari pemimpin bangsa ini tidaklah harus mereka yang punya geneologi, keturunan pejabat tetapi seberapa kemampuannya mengentaskan bangsa ini menuju bangsa yang educated.

Dari sini, momentum tahun hijriyah harus dijadikan referensi dalam tata kelola pemerintahan dan pesta demokrasi 2019 nanti. Semua untuk mensukseskan rekonstruksi peradaban bangsa.

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

1 hari ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

1 hari ago

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…

1 hari ago

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…

2 hari ago

Menghadapi Propaganda Trans-Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bersatu

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…

2 hari ago

Penjajahan Mental dan Ideologis: Ujian dan Tantangan Kedaulatan dan Persatuan Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…

2 hari ago