Narasi

Hijrah, Piagam Madinah, dan Rekonsiliasi Kebangsaan

Hijrah menjadi salah satu peristiwa bersejarah bagi umat Islam. Refleksi dari peristiwa agung ini juga beragam tafsirannya. Sebagian umat muslim mengekspresikan secara simbolis sebagai titik balik bermutasi, melangkahkan ke zona wilayah baru. Sebagian yang lain memaknai hijrah sebagai jalan perubahan dari garis demarkasi yang kelam menuju gerbang pencerahan dan semacamnya.

Namun yang jelas, momentum hijrah ini memberikan pesan kebangsaan di mana di dalamnya terpatri rekonsiliasi kebangsaan dan toleransi beragama. Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah figur teladan yang telah mencontohkan banyak kebaikan, salah satunya ialah bagaimana tetap bersikap lemah lembut terhadap umat agama lain serta mengajarkan toleransi beragama.

Sejak kedatangan Rasulullah SAW ke Yatsrib, yang kemudian kota tersebut berganti nama menjadi “Madinnatun Nabawi” atau Madinah, Rasulullah SAW telah memberi warna kota tersebut sebagai kawasan yang toleran. Madinah yang kala itu terdiri dari berbagai suku, kelompok, dan agama tak lantas membuat mereka bertikai. Rasulullah SAW juga melakukan negosiasi, konsolidasi, dan rekonsiliasi kebangsaan melalui perjanjian tertulis yakni “Piagam Madinah”.

Berawal dari Piagam Madinah inilah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya Madinah (Hasjmi, 1978). Sejak saat itu dimulailah babak baru dalam masa kenabian. Secara sosial masyarakat, Madinah ketika itu terdiri dari beberapa kelompok. Adapun kelompok yang tergolong besar dan berpengaruh adalah kelompok Yahudi dan Arab.

Baca juga : Hijrah Kebangsaan ; Menangkal Pemahaman Radikal dengan Meneladani Perilaku Rasulullah

Kelompok Arab sendiri terdiri dari suku “Aus dan Khozroj”. Sisi menarik dari sistem politik yang dibangun oleh Nabi adalah bahwa di Madinah dibangun dengan kondisi sosial penduduknya yang heterogen. Etnis Arab dengan beraneka suku dan juga berbagai jenis keyakinan atau kepercayaan agama.

Agama yang berkembang di Madinah saat itu, di antaranya agama Yahudi dengan beberapa sektenya, Nasrani serta masyarakat suku Paganism, yang belum mempunyai agama, dan agana Islam sendiri. Di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, kelompok-kelompok agama tersebut berbaur satu sama lain dalam ikatan persaudaraan kebangsaan. Kemerdekaan beragama pun tetap dijunjung tinggi.

Berbagai kelompok tersebut juga hidup rukun, mengingat Rasulullah SAW telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan antara bangsa dan juga agama. Persaudaraan ini menggantikan konsep persaudaraan lama yang atas dasar keturunan, yang mana konsep ini memicu strata sosial dan kesenjangan.

Dalam memperkuat rekonsiliasi kebangsaan dan rasa persaudaraan tersebut, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hasyr: 9, yang artinya sebagai berikut.

Dan orangorang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Ayat tersebut menyiratkan bahwa Rasulullah SAW di Madinah telah memberi keteladanan dan ajaran untuk bersaudara dengan siapa saja, walau berbeda agama atau keyakinan sekalipun. Kemudian hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam.

Piagam Madinah yang merupakan produk dari Hijrah dalam rangka mewujudkan stabilitas masyarakat Madinah. Sebuah piagam yang menjamin toleransi beragama. Mengingat, dalam piagam tersebut dirumuskan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat, kelompok-kelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan ketetapan kewajiban, serta prinsip-prinsip kehidupan damai.

Selain mengandung prinsip toleransi beragama juga mengatur hubungan antar-kelompok dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup. Usaha Nabi Muhammad SAW merumuskan Piagam Madinah ini tentu dalam rangka mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang bermuara pada tata kehidupan damai.

Adanya Piagam Madinah ini, jelas-jelas menunjukkan sikap toleran umat Islam dalam berinteraksi dengan umat lainnya. Rasullullah SAW sedari dulu telah mengajarkan dalam banyak hal dakwah santun serta tidak memaksa, bahkan membebaskan orang untuk memeluk suatu agama. Sikap inilah yang seharusnya diteladani oleh para dai di Indonesia, untuk senantiasa menebar Islam yan toleran,  ramah dan rahmah, serta tidak menebar ekstremisme ataufun takfirisme.

This post was last modified on 19 Agustus 2020 3:59 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago