Narasi

Hijrah yang Tidak Hanya Sekadar Penampilan!

Setelah saya amati, ada begitu banyak “gerakan hijrah” di Indonesia yang justru “hanya” condong sempit pada ranah penampilan saja. Artinya, barometer hijrah yang mereka pahami, seperti memosisikan ke dalam satu moment. Di mana orang hanya cukup mengubah gaya penampilannya saja. Lalu, berapologi bahwa “beginilah hijrah!”.

Lalu, ekspresi yang ditampakkan ke ruang-ruang publik, mulia merasa bahwa dirinya lebih syar’i, lebih baik dari yang lain dan beserta klaim-klaim lainnya. Hingga pada siklus tertentu, mulai ada semacam “klaim pembenar” atas kesombongan teologis-nya. Bahwa, dengan hijrah yang model semacam itulah, mereka mulai merasa, bahwa dirinya paling suci, paling benar dan merasa paling terbaik di antara yang lain. 

Padahal, hijrah secara subtansial, sejatinya bukan hanya sekadar sempit pada ranah penampilan. Artinya, kesadaran diri untuk berhijrah, sebetulnya bukan hanya sekadar sempit pada pola-perubahan dari penampilan yang kita pakai. Lalu berhenti pada ranah itu saja dan seenaknya membuat klaim pembenar bahwa dirinya telah merasa baik, sesuai syariat Islam atau bahkan membanding-bandingkan dirinya yang telah merasa paling suci.

Maka kenyataan yang semacam ini sebetulnya menjadi polemik khusus untuk kita perbaiki. Karena, di satu sisi kita hanya menjadikan gerakan hijrah untuk berubah menjadi lebih baik hanya berfokus pada penampilan. Lalu, lupa bagaimana cara mengubah pola-pikir yang kadang egois serta lalai terhadap kebiasaan buruk yang tampak “sepele” namun berdampak buruk terhadap yang lain.

Padahal, perubahan pola-pikir dan segala kebiasaan buruk dalam diri itu menjadi “kunci hijrah” yang sebetulnya perlu kita lakukan. Memang, hijrah dalam segi perubahan penampilan itu tidak salah. Tetapi, menjadi keliru ketika hal demikian itu justru menjadi (sikap inti) dari hijrah tersebut. Lalu membuang hal-hal yang sangat fundamental dari hijrah itu sendiri. Lalu mengekspresikan ke ruang-ruang publik bahwa dirinya paling benar, paling baik dan paling suci.

Bahkan, tidak hanya itu. Fenomena hijrah yang sempit pada penampilan saja ini sebetulnya sangat membawa kemudharatan yang luar-biasa bagi dirinya. Kenapa? Sebut saja ketika ada salah satu musisi yang terkenal di tanah air. Dia merelakan dirinya untuk keluar dari group, mengubah pola penampilan-nya yang normal, diganti dengan pakaian seperti jubah, surban serta diimbangi dengan jenggot.

Anggapan yang paling fundamental dalam dirinya, bahwa “Beginilah hijrah”. Dengan cara mengorbankan segala karier-nya sebagai seorang musisi. Hingga, memilih untuk berhijrah dengan model yang semacam itu. Akhirnya, berakibat pada (kekurangan ekonomi). Bagaimana yang asalnya keluarga bisa sejahtera, kini justru menjadi sengsara. Bagaimana keluarga yang asalnya berkecukupan dan mapan secara ekonomi, kini justru berubah. Akhirnya, persoalan hidup mulai semakin dirasakan.

Tentu, kenyataan yang semacam ini, sebetulnya menjadi satu polemik penting bagaimana orang dalam mengekspresikan hijrah ke dalam wadah yang sempit dan berakibat yang fatal. Persepsi ini bukan berarti menantang kehendak Tuhan perihal rezeki dan lainnya. Tetapi, tindakan hijrah yang semacam ini, justru akan menjadi “polemik baru” baik bagi dirinya, kesadarannya dan bahkan kita seperti “membuang substansi inti” dari hijrah tersebut.            

Oleh sebab itulah, kita perlu sadar dan perlu paham. Bahwa hijrah sejatinya bukan hanya sekadar sempit pada ranah penampilan saja. Kita tidak cukup hanya merenovasi segala penampilan yang kita pakai. Lalu, membuat klaim pembenar bahwa kita telah berhijrah. Lalu merasa paling benar dan paling suci di antara yang lain. Hingga, melupakan jalan etis kita untuk berhijrah untuk mengubah pola pikir, karakteristik dan sifat buruk kita. Padahal, tindakan yang semacam inilah, sejatinya menjadi inti dari substansi hijrah yang perlu kita lakukan saat ini.

This post was last modified on 13 Agustus 2021 2:35 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

3 hari ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

3 hari ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

3 hari ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

3 hari ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

4 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

4 hari ago