Heboh RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila), lepas dari kontroversi yang menyertainya, memberi hikmah besar dalam dinamika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini biasa diamati dan sekaligus dialami secara langsung, baik mereka yang pro maupun yang kontra terhadap RUU HIP.
Pertama, polemik wacana RUU HIP, meski sebenarnya oleh pemerintah telah diinstruksikan agar DPR tidak perlu melanjutkan pembahasan itu, merupakan buah dari alam demokrasi yang memang tersemai subur dalam sistem kenegaraan kita. Tanpa demokrasi—menggunakan sistem teokrasi, seperti khilafah, misalnya—mustahil akan terjadi dinamika yang begitu hidup dan progresif antar elemen masyarakat.
Sistem teokrasi khilafah, memungkinkan jalannya pemerintahan yang top down, rawan otoriter, tidak ada negosiasi kewargaan, sebab semua dikendalikan oleh seorang pemimpin, khalifah. Sementara demokrasi, kita tahu, justru sebaliknya. Bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kedua, respons publik terhadap usaha menjaga Pancasila, dengan caranya masing-masing, sesungguhnya menunjukkan loyalitas dan kesetiaan kepada NKRI. Artinya, elemen-elemen masyarakat yang terlihat vokal di banyak media itu tidak mempermasalahkan ideologi dan dasar Pancasila.
Dari sana, dapatlah dimengerti, kalau yang selama ini menebar provokasi menolak Pancasila, dan hendak menggantikan dengan ideologi khilafah, adalah kelompok kecil yang secara sengaja membonceng di balik kerumunan massa, sering memanfaatkan situasi, dan ini yang perlu diwaspadai. Polemik maupun kontroversi dalam menjaga Pancasila, itu biasa terjadi, dan sah selama dalam koridor konstitusional.
Hanya saja, sikap kontra terhadap RUU HIP yang kemudian menggiring seseorang pada caci maki, marah, dan menuduh tanpa dasar kuat, bahwa RUU HIP bagian dari desain politik pemerintah perlu dihindari. Sebab, nyatanya tidak sesederhana itu.
Baca Juga : Menghalau Provokasi Belah Bambu
Yang memungkinkan dijadikan refleksi atas kontroversi tersebut, justru kita sadar, bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, telah final, dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun usaha untuk memahaminya, termasuk juga menjaganya, kapan saja bisa dilakukan seiring perkembangan zaman.
Menjalankan Fungsi Pancasila
Karena itu, mempersoalan Pancasila apakah ia layak atau tidak sebagai ideologi, sangat tidak relevan lagi. Sebab, Pancasila menurut Alfian (1991) telah memenuhi tiga dimensi sebuah ideologi. Pertama, dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi secara riil berakar dalam dan/atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
Kedua, dimensi idealisme, yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi mengandung idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
Ketiga, dimensi fleksibilitas/pengembangan, yaitu memiliki keluwesan yang memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Kedudukan Pancasila mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. Pancasila sebagai ideologi, bercirikan mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Karena itulah, menjalankan fungsi Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan keniscayaan bagi setiap warga negara. Pancasila memiliki konsep, prinsip, dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila, menurut Hidayat (2001), dalam kehidupan kenegaraan dapat diartikan sebagai suatu konsensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dengan mendirikan negara. Ideologi berfungsi sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan.
This post was last modified on 10 Juli 2020 2:21 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…