Dalam sebuah dialog antara Orang Muda Katolik (OMK) Rayon Sleman dengan santri Assalafiyah Mlangi Sleman, pada 8 Juli 2018, ada satu keharmonisan dalam forum tersebut. Orang Katolik yang belajar mengenal Islam, dengan berbagai pertanyaan, misalnya kenapa jenazah orang Islam harus dipakaikan kain kafan, apa perbedaan antara gelar haji, ustadz dan kiai dan lain sebagainya. Persaudaraan yang begitu indah. Namun ada satu pesan yang menarik disampaikan oleh santri Pesantren Assalafiyah Mlangi kepada kita yang hadir, “Kekurangan kita sebagai orang yang mengupayakan perdamaian, cenderung menghindari ‘ayat-ayat perang’ yang kebanyakan disalahtafsiri oleh kebanyakan orang”.
Pesan yang disampaikan oleh santri tersebut adalah saran yang harus dilakukan santri untuk menjelaskan ayat yang dianggap untuk membenci orang di luar golongannya. Bagi para santri, mempelajari Al-Qur’an tidak cukup jika memahami artinya, tanpa melihat asbabunnuzul (sebab turunnya Al-Qur’an). Serta banyak ilmu lainnya untuk menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an, tidak cukup memahami dengan terjemah. Syarat menjadi seorang mufasir tidak cukup apabila memahami ayat Al-Qur’an dengan hanya membaca artinya saja, melainkan harus menguasai ilmu bahasa Arab (ilmu nahwu, sharaf, isytiqaq dan ilmu balaghah), ushul fiqih, ushuluddin, ulumul Qur’an (Ilmu qiraati, asbabun nuzul, nasikh mansukh, qashasul Qur’an), serta mengetahui hadits nabi yang berbicara tentang tafsir Al-Qur’an.
Saat ini banyak orang yang cenderung berani menghakimi seseorang atas pemahaman Al-Qur’an walaupun melalui terjemahannya. Membaca Al-Qur’an tanpa memerhatikan aspek keilmuan yang lainnya, membuat orang cenderung salah tafsir atas ayat yang turun dari Allah Swt. Inilah pesan yang disampaikan oleh seorang santri tersebut sangat penting. Bagi orang yang benar-benar mumpuni untuk memahami Al-Qur’an, atau setidaknya mempunyai guru yang fasih belajar Al-Qur’an untuk meluruskan ayat Al-Qur’an yang seringkali disalahtafsiri.
Sepertihalnya ketika seseorang salah mengartikan kata kafir. Orang-orang saat ini, memahami kafir adalah orang yang di luar agama Islam. “Kafir merupakan orang yang menentang aktivitas beragama,” kata salah seorang santri menjawab atas pertanyaan dari teman Katolik. Santri tersebut mencontohkan, ketika salah Nabi Muhammad ditentang dan dihalangi ketika hendak ke masjid, yaitu oleh orang kafir. Orang cenderung mereduksi kata kafir dari perkataan orang lain, tanpa mempertanyakan apa makna kafir tersebut. Sepertihalnya ketika memahami ayat Al-Qur’an, banyak orang yang memahami dari internet dan temannya, kemudian berani untuk menafsiri ayat tersebut.
Usaha belajar menafsiri ayat Al-Qur’an merupakan upaya yang baik untuk dilakukan untuk belajar agama. Namun dengan catatan harus mempunyai guru yang mumpuni telah memenuhi kriteria mufasir. Pun dengan berdakwah untuk mengenal Al-Qur’an itu penting, namun yang selalu diperhatikan harus memahami benar apa maksud dari ayat yang telah disampaikan.
Budaya pesantren oleh karenanya tepat untuk dilakukan, yaitu memahami Al-Qur’an dengan mengaji kepada guru. Yang menjadi kebiasaan oleh para santri, yaitu belajar tafsir Al-Qur’an melalui guru, sepertihalnya belajar kitab tafsir jalalain. Budaya mempelajari Al-Qur’an dengan cara tersebut tepat untuk dilakukan bagi orang awam, agar tidak salah tafsir.
Tafsir Benci
Salah satu gejala yang marak lagi bagi penulis adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan rasa benci. Rasa benci terhadap seseorang atau kelompok, kemudian Al-Qur’an dijadikan landasan untuk membenci orang tersebut. Artinya, sebelum menafsirkan Al-Qur’an orang terlebih dahulu benci terhadap kelompok lain.
Tidaklah tepat apabila menafsirkan Ayat Al-Qur’an jika dijadikan memenuhi hasrat atau kepentingannya pribadi. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat, bukan untuk menjadi alasan benci terhadap umat yang berbeda dengannya. Oleh karenanya, untuk memahami Al-Qur’an dan mendakwahkannya adalah orang yang berilmu, agar ia tidak bias terhadap rasa benci dan dengki kepada orang lain.
Apabila orang yang menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah orang yang berilmu, maka yang disampaikan mengandung perdamaian, dan semakin menebalkan akidah. Al-Qur’an sendiri turun untuk menjadi petunjuk bagi umat agar lebih baik. Penulis sendiri mengartikan bahwa Al-Qur’an sendiri turun untuk menciptakan perdamaian di muka bumi, bukan untuk menciptakan konflik atau kerusuhan. Petunjuk dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang beradab dan beriman.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…