Saya ingin membandingkan sisi-sisi substansial kebenaran hubbul wathan minal iman yang digaungkan KH Hasyim Asy’ari vs Khilafah yang digaungkan kelompok kaum radikal. Kira-kira, mana yang lebih islami di antara keduanya dalam prinsip bernegara?
Pertama, cobalah pahami dengan betul. Ajakan kembali ke khilafah itu bukan bersumber pada ayat (dalil teologis) tetapi berdasar pada (romantisme masa lalu) (dasar politis). Jika kita peta-kan misalnya, ajakan ke khilafah ini tak lebih dari adanya proses “adopsi praktik politik” kaum muslimin di masa lalu yang sebetulnya “pincang” jika ditinjau dasar-dasarnya secara teologis.
Artinya apa? khilafah itu hasil ijtihad kaum muslimin di masa lalu dan kita hidup di masa yang jauh berbeda. Persoalan khilafah dengan janji ingin menegakkan ajaran yang sesuai hukum Islam memang tak jauh berbeda dengan proses ijtihad bernegara sebagaimana yang kita miliki. Kecenderungan seseorang karena melihat ajakan kembali ke khilafah itu terkecoh ke dalam identitas personal branding seperti era sahabat maupun era Nabi.
Jika khilafah kini dihidupkan, dia tentu telah kehilangan relevansinya. Karena antara konteks dan situasi yang dimiliki telah berbeda. Tentu, hukum di dalam Islam itu sifatnya dinamis dan ijtihad hukum dalam Islam akan lahir dan tumbuh (relevansi) di setiap zaman dan konteks yang berbeda pula.
Maka sangat relevan saya katakan apabila ajakan kembali ke khilafah sebagai satu tindakan yang telah kehilangan subtansial ijtihad nilai-nilai keislamannya itu. Dia akan menjadi polemik yang akan merapuhkan segala ijtihad-ijtihad bernegara yang menjunjung kemaslahatan seperti yang dikatakan dalam Al-Qur’an, yakni baldatun thayyiabtun warabun ghafur.
Seperti halnya, ajakan kembali ke khilafah menginginkan negara berpusat pada satu kekuatan identitas primordial sebagai pengendali. Artinya, kemaslahatan dan hak sosial kemanusiaan di dalamnya akan tereduksi oleh sifat-sifat eksklusif itu. Pembenaran atas perilaku intoleransi dan merusak tatanan sosial akan menjadi fakta nyata bahwa ajakan kembali ke khilafah akan menjadi benalu yang akan merobek nilai-nilai keislaman yang membawa rahmat itu.
Kedua, bagaimana dengan prinsip Hubbul Wathan Minal Iman? ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam membakar semangat umat Islam dan para santri agar melawan kaum penjajah. Dasar keimanan sebagai bagian dari semangat mencintai tanah air memang memiliki dasar yang kuat.
Cobalah pahami potongan ayat An-Nisa’ ayat 66. Dalam kata “Keluarlah dari kampung halaman-mu” bahwa terdapat “isyarat” yang sangat jelas bahwa akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya. Ini sebetulnya berkaitan dengan kondisi setiap manusia yang hidup, tumbuh dan tinggal di sebuah negara yang akan sangat mencintai tanah kelahirannya.
Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam Tafsir al-Wasith mengatakan: dalam potongan ayat An-Nisa’ ayat 66 menunjukkan bahwa ada kecenderungan manusia dengan tanah airnya. Dikatakan dalam teks “Wa fi Qouli Ta’ala (Awikhruju min Diyarikum) Isyaratun Shorihatun ila ta’alukinnufusil Basyariyati Biladiha, Wa ila Anna Hubbul Wathan Mutamakkinu Finnufusi wamuta’allikotu bihi, Li annallaha subahanahu ja’ala khuruja min diyari wal awtoni mu’adilan wamukorinan khotalannafisi, Fakilal amroyni azizun, wala yufarritu uwghlabu annasi bidzzarratin min turabil wathani Mahma Ta’arrathu lil masyakki wala mataibi wal mutayakoti”
Jika kita pergi dan bahkan “acuh” terhadap negaranya serta membiarkan kerusakan terjadi di tanah airnya. Maka Allah SWT menghukumi mereka akan dosa yang setimpal dengan bunuh diri. Karena membiarkan negaranya rusak, terjadi konflik dan pertikaian satu sama lainnya.
Dalam konteks memahami Hubbul wathan Minal Iman. Ini adalah kecenderungan KH Hasyim Asy’ari dalam menegaskan bahwa membela tanah air dari para penjajah sebagai bagian dari kesadaran iman itu. Bahkan, Nabi Muhammad SAW di saat di usir dari kota Makkah, beliau bersedih dan begitu berat meninggalkan kota Makkah sebagai kota di mana beliau dilahirkan.
Dua perbedaan mendasar antara khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman itu sangat jelas. Ajakan kembali ke khilafah cenderung “pincang dan rapuh” secara dalil yang relevan dengan kehidupan saat ini. Dia hanya bagian dari historitas sejarah yang cukup jadi pelajaran, bukan ajaran. Jauh berbeda dengan prinsip Hubbul Wathan Minal Iman yang mengandung dasar dalil yang kuat. Tentu, relevansi kebenaran inilah yang harus kita sikapi dalam memahami, bahwa semangat Hubbul Wathan Minal Iman sebagai basis dari nilai-nilai keislaman yang sejati untuk kita jaga dengan baik.
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…
Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di…
Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan…
Hari Pahlawan adalah momen untuk mengenang dan melanjutkan semangat juang para pahlawan bangsa dalam konteks…
Kelompok radikal-ekstrem seolah tidak pernah kehabisan ide dan cara untuk mengobok-obok negara. Gagal mengganti dasar…
Kita mengenal Bung Tomo, Jenderal Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, Agustinus Adisudjipto, Kapten Pierre Tendean,…