Narasi

Ibu, Agen Literasi Humanisme dalam Keluarga

Penyebaran ajaran radikalisme harus diputus mata rantainya melalui pendidikan literasi dalam keluarga. Literasi di sini tak hanya melek aksara, kemampuan baca-tulis, namun ditekankan pada pemerolehan informasi dengan benar, ramah, dan bijak. Melek aksara pun tak cukup, karena saat ini kita butuh generasi yang humanis, toleran, dan antiradikalisme. Semua itu bisa dilakukan anggota keluarga dan kuncinya ada pada ibu.

Literasi tidak sekadar melahirkan generasi literat, namun juga humanis. Pasalnya, masih banyak anak-anak kita menjadi pelaku dan korban kekerasan. KPAI menyatakan ada 16 kasus kekerasan yang menyebabkan anak meninggal dunia kurun Januari-Maret 2018. Ironisnya, pelakunya adalah ibu. Selama tiga bulan, ada 23 kasus kekerasan pada anak dengan berbagai tindakan (Beritagar.id, 27/3/2018).

Kekerasan fisik ini membuktikan pola asuh keluarga masih butuh penguatan literasi humanisme. Kekerasan fisik berpotensi menumbuhkan radikalisme akibat gejala trauma anak yang berujung “pelampiasan”. Kejadian ini menyeru kita untuk menggerakkan literasi humanisme untuk membangun generasi toleran.

Selama ini, literasi di lembaga pendidikan berlangsung formalistik. Di sini, keluarga menjadi kunci penguatan literasi pada anak-anak usia dini, SD/MI, SMP/MTs, bahkan SMA/SMK/MA. Sebab, intensitas keluarga terutama ibu sebagai agen literasi untuk mengedukasi anak-anak, sangat menentukan mereka jauh dari konten buruk internet dari gadged (gawai).

Keluarga Jadi Kunci

Keluarga sebagai tri sentra pendidikan sebelum sekolah dan masyarakat harus menjadi pioner penguatan literasi humanisme. Tujuannya, untuk memutus potensi radikalisme lewat gawai yang dikonsumsi anak. Sebab, gawai yang dipakai anak akan memudahkan masuknya informasi, video, meme, berita, dan gambar-gambar radikal.

Kunci utamanya adalah ibu. Sebab ia menjadi “agen literasi humanisme” bagi anak-anaknya. Ibu tak sekadar madrasah pertama, namun “madrasah utama” bagi perkembangan intelektual, spiritual dan emosional anak. Salah satu bagian dari aspek itu termasuk humanisme untuk membangun generasi ramah dan berbudi.

Anggota keluarga terutama ibu dan ayah harus memahami tugasnya. Mereka tak hanya mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun pemenuhan asupan gizi literasi yang membentengi anak-anak dari radikalisme harus dikuatkan.

Keluarga zaman now yang dekat dengan gawai harus menjamin anak-anak mendapat vitamin menyehatkan bagi akselerasi psikisnya. Ada beberapa formula dan penguatan pola pendidikan literasi humanisme dalam keluarga.

Pertama, ibu harus bekerjasama dengan ayah menciptakan keluarga ramah gawai. Saat ini, sangat mustahil anak-anak usia dini, bahkan SMA dipaksa puasa dari gawai. Mereka diperbolehkan main gawai namun harus diedukasi, dan benar-benar dikawal. Jangan sampai ibu berpedoman “yang penting anak diam” namun tak dikawal pemakaiannya.

Sedetik ibu lalai mengawal, anak-anak bisa mendapat ajaran radikal dari gawainya. Apalagi, karakter anak usia PAUD-SD menurut Supriyanto (2014) adalah meniru, imajinatif, dan usil. Jika mereka menonton video radikal, tentu akan menirunya sesuai daya imajinasi dari video itu.

Literasi Humanisme

Kedua, literasi dalam keluarga tak hanya membaca, menulis, dan berhitung. Namun harus dikuatkan pada literasi data, teknologi, dan humanisme. Jika dulu kita hanya disuguhkan literasi lama (membaca, menulis, dan berhitung), namun keluarga saat ini harus menerapkan literasi baru (data, teknologi, humanisme). Literasi baru ini sebagai wahana menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 yang berpuncak pada penguatan humanisme.

Ketiga, anak-anak harus diajarkan ibu dengan pengenalan teknologi dan data yang ramah pada konten-konten sesuai umur. Lantaran anak PAUD/TK cenderung menonton video di Youtube, ibu harus mengarahkan pada konten edukatif.

Jangan sampai mereka menonton video terorisme dan provokatif. Sedangkan anak usia SD-SMA cenderung mengonsumsi media sosial. Mereka harus dibina bermedia sosial dengan bijak, dan menerapkan prinsip humanisme.

Keempat, literasi humanisme bisa diterapkan dengan pemenuhan gizi humanis sesuai kebutuhan bacaan anak-anak. Artinya, mereka harus diberi hidangan humanisme dari konten berita, dongeng, buku, meme, dan video. Jika makanan digitalnya humanis, mereka menjadi generasi humanis, begitu sebaliknya.

Literasi humanisme menjadi kunci memutus mata rantai penyebaran faham, ajaran, dan gerakan radikal. Penguatan literasi humanisme berpusat pada ibu menjadi solusinya. Literasi humanisme bukan segalanya, namun pemutusan mata rantai ajaran radikal bisa berawal dari sana!

Hamidulloh Ibda

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

14 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

14 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

14 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

14 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago