Narasi

Perempuan dan Literasi Kemajuan Bangsa

Dalam sebuah adagium Arab teruar: al-umm madrasatul ula, Ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Pada fase 0-5 tahun yang oleh para pakar parenting disebut golden age itu, peran seorang Ibu teramat urgen. Dekapan, sentuhan, dan pola asuh seorang Ibu merupakan fitrah di mana bakal berimbas pada tumbuhkembang seorang anak hingga membekas di usia dewasa kelak. Karena itu, kiprah Ibu dalam konteks domestik macam itu, justru di samping berderajat mulia, juga menibakan pesan bahwa para kaum hawa memegang posisi kunci dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang hebat.

Dalam jabaran yang lebih luas, peran ibu atau lebih tepatnya perempuan secara umum, juga diaminkan oleh realitas keseharian. Hampir-hampir semua para pendidik di jenjang sekolah pendidikan usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK) merupakan seorang perempuan. Kesabaran, kecermatan, serta bingkai patri berupa kasih sayang telah menghunjam mendalam kepada kepribadian seorang perempuan. Dengan demikian, peletakan pondasi pendidikan karakter bagi para anak-anak Indonesia merupakan amanat yang agung yang kiranya hanya kepada sosok perempuan-lah yang sanggup melakukannya.

Luluk Asmawati (2017) dalam Konsep Pembelajaran PAUD menceritakan bagaimana Agus Salim, tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dikenal cerdas itu, rupanya menaruh pentingnya kaum perempuan agar berpendidikan-berpengetahuan. Karena kaum ibu akan mengemban tanggungjawab besar mendidik anak-anaknya. Oleh Agus Salim, beliau sorongkan kepada istrinya, Zainatun Nahar, agar memperbanyak membaca. Banyak membaca melahirkan aneka pengetahuan dan tertibnya penalaran. Sehingga dengan begitu, akan berdampak luas yang nantinya ditularkan kepada si anak. Dari sini tersimpulkan bahwa setidaknya dari pemikiran Agus Salim, peran ibu ditarik dari kejumudan peran yang selama ini mengungkunginya: dapur, kasur, sumur.

Dan, sudah sejak lama pula, dalam skala ormas keagamaan, semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama membentuk pondasi bagi penyiapan kader estafet bangsa berupa taman kanak-kanak bersebut Bustanul Athfal serta Raudlatul Athfal. Dari para pendidik di kedua TK tersebut, anak-anak selain diajarkan membaca dan berhitung, juga dibekali dengan pengetahuan dasar agama. Mayoritas –untuk tidak mengatakan semuanya—pendidik sengaja diambil dari kalangan perempuan.

Karena itu, perempuan/Ibu mestilah berada pada pemuliaan dalam pemerolehan pendidikan pula. Apalagi, dalam konteks tersebut, baik laki-laki maupun perempuan hakikatnya mempunyai kesamaan kesempatan dan akses pendidikan. Sabda Nabi, Thalabul ‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin. Term “muslimatin” tersebut mengandung perintah eksplisit bahwa, perempuan berkedudukan setara dengan laki-laki dalam pemerolehan pendidikan. Petuah Nabi Saw tersebut makin menegaskan agama justru menjadi pendorong utama agar perempuan –dan laki-laki—semaksimal dan setinggi mungkin meraih pendidikan.

Nabi Saw juga secara sarih memerintahkan agar pemerolehan pendidikan merupakan kegiatan sepanjang masa, Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi, dari tempat buaian hingga liang lahat. Namun sayang beribu sayang, kita sering melihat masih ada anggapan di masyarakat bahwa anak perempuan tidak diperlukan bersekolah. Kalaupun mengenyam pendidikan, dicukupkan pada level dasar (SD) dan lanjutan (SLTP). Ironisnya, kepada anak laki-laki, seakan pemerolehan pendidikan sebisa mungkin disorongkan. Dan, semakin memilukan, bila agama dijadikan dalih pembenar terhadap realitas sosial tersebut. Padahal, sudah teramat terang-benderang senyatanya agama mewajibkan (faridlatun) –bukan lagi sekadar menganjurkan— agar lelaki dan perempuan sama-sama beroleh pendidikan dengan setara dan maksimal.

Literasi perempuan Indonesia

R.A Kartini merupakan tokoh penting yang menyadari bahwa seharusnya tak ada perlakuan berbeda untuk memperoleh pendidikan yang didasarkan jender. Karena itu, Kartini memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui pendidikan kursus wanita. Pemikiran Kartini terangkum apik dalam surat-surat pribadinya yang kemudian diterbitkan tahun 1912 dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang dieditori J.H Abendanon. Terbitnya buku itu disebut-sebut menimbulkan gelombang kegairahan dan simpati mengenai gerakan emansipasi perempuan secara luas. Membuka kesadaran kolektif berkait peran besar perempuan dan dialektika kesetaraan jender.

Pada usia 24 tahun, Kartini mendirikan Sekolah Gadis Jepara dan Sekolah Gadis Rembang. Di dua sekolah tersebut, Kartini mengajarkan keterampilan membaca dan menulis. Tak berlebihan bila Kartini dianggap sebagai sosok pembuka jalan bagi kaum perempuan untuk dapat lebih berkarya dan mengembangkan diri. Benar saja, Kartini menjadi inspirasi gerakan emansipasi. Pada tahun 1913, papar Luluk Asmawati (2017), beberapa kota besar di Indonesia membuka Sekolah Rendah yang ditujukan kepada anak-anak perempuan dengan mengambil nama Sekolah Kartini.        

Tak hanya di Jepara, tokoh penting lainnya adalah Raden Dewi Sartika. Perempuan Sunda yang lahir pada 1884 ini juga mendirikan sekolah khusus bagi perempuan bersebut Sekolah Kautaman Istri. Di sekolah itu, para perempuan muda didik aneka pengetahuan dan keterampilan. Pun di Koto Gadang, termasyhurlah seorang Roehana Koeddoes. Pada usia 21 tahun, beliau mendirikan Sekolah Gadis; mendidik kaum perempuan agar cakap dan terampil. Perjuangan emansipasi dan pengangkatan derajat perempuan terus digelorakannya. Pada tahun 1912, beliau mendirikan surat kabar Soenting Melajoe yang berisi seputar kegiatan perempuan dan inspirasi kehidupan bagi perempuan kala itu.

Kesadaran literasi menjadi titik tumpu para perempuan hebat tersebut. Aktivitas membaca dan menulis merupakan stimulus dan modal untuk mendobrak zaman yang dirasa tidak adil. Kiranya, spirit/ghirah terhadap literasi tetap selalu diaktualisasikan hingga generasi perempuan saat ini. Para mahasiswi yang bertekun di perpustakaan serta fenomena para ibu rumah tangga milenial yang menulis blog (ngeblog), merupakan perwujudan nyata derap kesinambungan spirit Kartini di zaman kini. Tiap 21 April, selebrasi Hari Kartini memang disemarakkan. Selang sehari kemudian, pada 23 April, tersemat peringatan Hari Buku Internasional. Seakan kebetulan yang bermakna mendalam di era sekarang; manakala perempuan Indonesia seyogianya makin menggandrungi membaca buku; demi anak-anaknya, pemartabatan sebagai manusia, keadaban keluarga, serta untuk kemajuan bangsa.   

  

Muhammad Itsbatun Najih

Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

5 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

5 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

5 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

5 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago