Narasi

Idul Adha Meneguhkan Konsep Rahmatan lilalamin

Dalam momentum Hari Raya Idul Adha ada dua kegiatan yang sering kita dengar yaitu berkurban dan berhaji. Disebut berqurban karena pada hari itu dilaksanakannya penyembelihan hewan sedangakan berhaji dikenal karena wukufnya para jamaah haji di Afarah.

Hal ini merupakan suatu kegembiaran bagi seluruh umat Islam karena perintah berqurban dan berhaji langsung berasal dari Allah SWT. Perintah berkurban berawal dari kisah Nabi Ibrahim yang bermimpi mendapat perintah Allah SWT.  Agar menyembelih putranya bernama Nabi Ismail. Keteguhan , keikhlasan, dan kesabran Nabi Ibrahim saat itu dalam menjalankan perintah Allah dibalas dengan pergantian putranya (Nabi Ismail) dengan hewan kurban. Sehingga atas dasar teguh, ikhlas, sabar Nabi Ibrahim maka memberikan jawaban atas semua perintah Allah SWT. dalam menguji hamba-Nya.

Di samping itu, perintah berhaji merupakan rukun Islam yang kelima. Ibadah Haji diwajibkan bagi umat Islam yang mampu secara fisik maupun finansial. Orang yang melaksanakan haji akan meninggalkan segala kemewahan dan keindahan yang selama ini melekat pada dirinya. Menanggalkan masalah duniawi dan segala kesibukan yang dapat membelokkan dari keikhlasan dengan menggunakan pakaian ihram sebagai manifestasi ketundukan kepada Allah SWT. (Rahmat: 2017)

Momentum Idul Adha  yang di dalamnya dilaksanakan ibadah haji dan Ibadah kurban. Harusnya menjadi nilai tambah eksistensi keberadaan Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin. Islam yang menjadi jawaban dari tantangan zaman yang berkembang. Islam yang mampu menjadi sumber kemaslahatan bagi seluruh ummat manusia.

Rahmatan Lilalamin

Dalam mengkampanyekan konsep rahmatan lilalamin sebagai sebuah konsep hidup  yang menjunjung tinggi kemaslahatan bagi seluruh ummat manusia. Dalam hal ini KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpandangan bahwa rahmatan lilalamin adalah berpegang teguh pada prinsip dasar tauhid dan sendi dasar agama, menerjunkan diri sepenuhnya pada perdamaian dan menebarkan pertolongan sebagai pengabdian pada kemanusiaan dalam ikatan tali ketuhanan karena yang berhak disebut muslim sejati adalah mereka yang telah memenuhi lima syarat utama, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan (Ahmad Fikri: 2012).

Menerjunkan diri sepenuhnya pada peradamaian dan menebarkan pertolongan pada semua orang tanpa batas suku, agama, ras, dan antar golongan (sara) tentu tidak mudah dalam realisasinya sehingga hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang yang siap “berkorban” banyak hal. Baik berkorban harta benda, luang waktu, maupun pikiran sebagai bentuk “pelayanan” (Khodimul ummah) dan pengabdian pada kemanusiaan dalam ikatan tali ketuhanan.

Khodimul Ummah (Palayanan Umat)

Dengan menjadi khodimul ummah, Islam bukan sekedar nilai di atas angin, melainkan aksi nyata yang manfaatnya dirasakan oleh publik. Aksi nyata dengan terlibat langsung di masyarakat, maka akan membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin (Buchory: 2015).

Perjuangan sebagai khodimul ummah pasti akan melahirkan kesejahteraan. Karena berjuang mengabdi di tengah masyarakat adalah sebuah kerja peradaban yang dilakukan dengan tulus dengan nilai ketuhanan. Sudah menjadi hokum alam, bahwa segala hal akan menemukan keseimbangannya. Kalau manusia bekerja untuk membangun peradaban, apalagi yang dilakukan ummat Islam dengan semangat khodimul ummah, maka kesejahteraan akan dating dengan dengan sendiri. Inilah yang dilakukan para kiai dan pejuang bangsa ini di masa silam, termasuk apa yang diperjuangkan oleh Gus Dur. (Hamdi Buldan: 2015)

Momentum hari raya Idul Adha merupakan salah satu momentum pembelajaran penting bagi umat Islam untuk melakukan pengorbanan dari segi finasial, yakni dengan mengorbankan hewan Kurban untuk dibagikan secara cuma-cuma pada masyarakat sebagai bentuk pelayanan ummat  (khodimul ummah) tersebut. Dengan demikian sebagai keseimbangan hukum alamnya tentu akan melahirkan kemaslahatan masyarakat.

Menurut KH. Afifuddin Muhajir (2015) kemaslahatan (maslahah) dalam kontek Islam rahmatan lilalamin semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Maslahah  dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok, yaitu (al-kulliyatul khams), yaitu hifzhud din (maslahah dalam keterjagaan agama), hifzhulaql (maslahah dalam keterjagaan akal), hifzhun nafs (maslahah dalam keterjagaan diri), hifzhul mal (maslahah dalam keterjagaan harta), dan hifzh al-ird (maslahah dalam keterjagaan generasi). Dengan demikian, rahmatan lilalamin adalah suatu keniscayaan.

Amrullah Rz

Aktivis pemuda perdamaian tinggal di Sumenep Madura.

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

7 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

7 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

7 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

7 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago