Narasi

Tafsir Sosial Ibadah Kurban

Idul Adha atau biasa disebut juga dengan hari raya kurban, adalah hari bahagia yang erat kaitannya dengan ibadah haji yang saat ini berlangsung di Tanah Suci. Sebab, baik perayaan kurban maupun haji, memiliki akar sejarah yang mengacu pada napak tilas pengalaman keagamaan Nabi Ibrahim dan putra kinasihnya, Ismail.

Karena itulah, penyelenggaran ibadah haji ke Tanah Suci merupakan pelembagaan tradisi keagamaan Ibrahim yang memiliki “kesakralan sejarah”. Menurut Azyumardi Azra (2001), Ka’bah dan Arafah adalah dua simbol yang turut mengaitkan Islam dengan agama monoteis sebelumnya. Ka’bah dibangun atas perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim yang merupakan nabi dari agama-agama monoteis (Q.S. al-Haj: 78) yang oleh banyak ahli sosiologi dan perbandingan agama sekarang disebut sebagai “western religions”, yakni agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Sedangkan Arafah adalah simbol dari pertemuan kembali Adam as dan Hawa setelah mereka terlempar dari surga karena tergoda bisikan iblis. Ritual-ritual utama haji bermula dan berakhir dengan thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Di antara thawaf-thawaf itu para jama’ah haji wajib melakukan wuquf (diam) di Arafah pada tanggal 9 sampai terbit fajar tanggal 10 bulan haji.

Wuquf di Arafah yang dilakukan oleh para jama’ah haji, sebenarnya merupakan simbolisasi dari penyatuan kembali nenek moyang manusia dan keturunannya di bawah naungan bukit kasih sayang (jabal rahmah). Secara teologis, jika paham dan mengerti tentang pemikiran tersebut, ini juga merupakan simbol dari “pluralisme agama”—yang saat ini banyak diingkari oleh sebagian kalangan.

Dari penjelasan di atas, tampaklah memang menekankan pada aspek vertikal, hubungan antar seorang hamba dengan Tuhannya (hablu min Allah). Lalu bagaimana dengan aspek horizontal (hablu min an-nas), yang merupakan penyeimbang dari konsekuensi agama yang diturunkan dari langit?

Tafsir sosial

Pemaknaan tentang ibadah haji dan kurban sejatinya tidak dipahami secara tekstual. Penafsiran yang kaku membuat wilayah  ketuhanan semakin sempit dengan mudah dapat dilihat dari perilaku manusia dalam ritual haji. Hal ini berkaitan dengan titik-titik spesifik, seperti Ka’bah, Multazam, Hajar Aswad, tugu tempat lontar jumrah, dan tempat-tempat suci lainnya.

Padahal mestinya, firman Tuhan perlu ditafsir ulang dengan pendekatan kemanusiaan, seperti pendapat ulama  Aljazair, Malik bin Nabi, yang menyatakan bahwa kebenaran tafsir firman Tuhan diukur dari manfaat praktis dan fungsionalnya bagi penyelesaian problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dalam arti luas.

Selama ini, aksi-aksi kemanusiaan dari ajaran agama seperti zakat harta, fitrah, dan kurban lebih bersifat fisikal dan cenderung beredar dalam kelompok internal agamanya secara eksklusif. Akibatnya, ibadah berdimensi sosial ini kurang menyentuh akar kemanusiaan, makna substansial, dan fungsional ajaran itu sendiri (Mulkhan, 2007).

Karena itu, ibadah kurban yang merupakan mata rantai dari ibadah haji, berasal dari kata dasar qurban, yang secara harfiah berarti mendekatkan diri kepada Tuhan, merupakan bentuk peribadatan yang tidak bisa menafikan peran sosial untuk orang lain. Ia bukan semata-mata ibadah individual si pelaku kurban kepada Tuhan, tetapi juga terdapat unsur kepentingannya bagi si pelaku dan lebih luas lagi bagi sesama manusia.

Artinya, seorang muslim hanya dapat dikatakan dekat kepada Tuhan apabila senantiasa dekat dengan sesamanya yang berkekurangan dalam hidup. Jika seorang muslim memiliki kenikmatan, dia membagikan kenikmatan itu kepada orang lain, terutama yang berkekurangan. Seekor hewan kurban, meminjam ungkapan Nashir (1997), hanyalah representasi dari keharusan berkurban yang lebih besar dari yang kita miliki bagi kepentingan orang banyak yang membutuhkan, sebagai wujud kecintaan kepada Tuhan yang teraktualisasikan dalam kecintaan terhadap sesama umat manusia.

Jadi, jika sekiranya masih ada seorang muslim yang kaya dan berkuasa membiarkan ketimpangan sosial ekonomi berlangsung, sedangkan rakyat kebanyakan masih hidup dalam kekurangan dan banyak terugikan oleh sistem yang kini berkembang, maka tak ada salahnya bila meninjau ulang kembali “kualitas” ibadah-ibadah ritual keagamaannya.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

24 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

24 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

24 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

24 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago