Narasi

Idul Kurban: Menyembelih Egoisme, Fanatisme dan Kebencian

Setiap ibadah spiritual di dalam Islam pasti memiliki korelasi etis terhadap nilai sosial-kemanusiaan di dalamnya. Contoh, tinggal hitungan hari, kita akan merayakan hari raya Idul Adha (Idul Kurban).

Secara makna-esensial: kita bisa menyembelih sifat egoisme, fanatisme dan rasa kebencian yang sering-kali menjadi penyakit rapuhnya nilai sosial-kemanusiaan di negeri ini. Mengapa? karena Idul Kurban tidak terlepas dari keharusan Nabi Ibrahim As dalam membersihkan hasrat dirinya dari segala ego dan kepentingan pribadi yang selalu menjadi penyebab, ketakwaan kepada Tuhan akan berpaling.

Maka secara korelatif, Idul Kurban bagi kita saat ini, adalah mengupayakan untuk menyembelih segala hasrat diri yang hanya mementingkan ego-diri. Agar, tidak berpaling terhadap ketakwaan kepada-Nya yang selalu memerintahkan untuk menjaga perdamaian dan kebersamaan, dengan menyembelih tiga hal tadi.  

Sebab, ego diri di tengah keragaman, fanatisme dalam beragama lalu menjadi tolerant dan rasa kebencian menganggap diri yang paling benar. Semua hasrat semacam itu akan menutup dan (membuat kita berpaling) dari ketakwaan kepada perintah-Nya untuk menjaga tatanan agar tidak berpecah-belah. Sehingga, di sinilah sifat egoisme, fanatisme dan kebencian itu harus disembelih.

Karena, selama fanatisme beragama, ego identitas dan kebencian itu masih menempel di dalam diri kita. Maka, ini akan selalu menjadi “penghalang” atas ketakwaan kita terhadap-Nya yang penuh rahmat dan mengajarkan nilai maslahat. Ini adalah “kewajiban teologis” yang membentang.

Perintah berqurban yang disandarkan ke dalam wilayah-wilayah (relasi spiritual) dalam bentuk kedekatan kepada-Nya itu masuk dalam wilayah sosial. Bahwa, ini menjadi satu bukti etis-keagamaan. Bahwa, siapa-pun bisa berqurban. Sebagaimana yang saya maksud adalah berqurban fanatisme agama, ego identitas dan kebencian.

Karena, kita jangan sampai melupakan apalagi lalai dengan makna-makna yang tersirat di dalam ibadah qurban itu. Sebagaimana, ibadah qurban sejatinya akan semakin membuat kita sadar. Bahwa, berbuat baik, saling membantu, menjaga hubungan sosial yang harmonis dan saling tolong menolong satu-sama lain. Itu bagian dari makna-makna fungsional dari ibadah qurban di hari raya Idul Adha itu sendiri yang harus kita ingat selalu.

Keikhlasan kita atau kerelaan kita untuk mengorbankan apa yang menjadi “penyakit” yang menutupi kebenaran-Nya yang membawa rahmat. Seperti sifat/karakter yang egois, fanatisme dan kebencian itu menempel dalam diri kita. Maka, dari tiga hal yang menempel itu sejatinya memiliki dampak negatif jika dibiarkan dan akan membawa dampak mudharat jika tidak dihilangkan.

Misalnya, jika fanatisme agama itu dibiarkan “menempel” dalam diri. Maka, ini akan semakin mempersulit kita untuk menerima perbedaan dalam konteks membangun hubungan sosial yang harmonis. Padahal, prinsip keharmonisan sosial adalah nilai teologis. Hal ini juga akan menjadi penyebab, terbentuknya keagamaan yang condong merasa paling benar sendiri dan orang lain salah.

Begitu juga dengan ego identitas serta kebencian. Di mana ego identitas dan watak kebencian ini selalu menganggap identitas primordial benar dan identitas lain salah. Ini masuk dalam konteks lalai terhadap nilai-nilai ketuhanan yang mengajak untuk saling damai dan kenal-mengenal di tengah perbedaan suku/agama. Karena, ketika, hal demikian terus dipelihara, maka ini akan semakin menutupi hijab atas ketakwaan kita terhadap nilai ketuhanan yang membawa rahmat itu, sehingga 3 hal tadi perlu kita sembelih.

Maka, dari sinilah alasan fundamental. Kita perlu menyembelih atau mengorbankan fanatisme agama, ego identitas dan watak kebencian. Karena itu menjadi “penghalang” ketakwaan kita atas kebenaran teologis yang selalu menekankan pentingnya toleransi, perdamaian dan keharmonisan. Dari sinilah alasan fundamental, mengapa kita perlu menyembelih tiga hal tadi.

This post was last modified on 29 Juni 2023 9:35 AM

Sitti Faizah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago