Categories: Narasi

Inilah Penghuni Surga

Satu hari ketika sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya Rasulullah pernah bersabda, “sebentar lagi di hadapan kalian akan lewat seorang penghuni Surga.” Para sahabat yang ada di pertemuan itu penasaran, siapa orang itu.

Tak lama kemudian orang yang dimaksudkan Nabi itupun lewat, melintas di hadapan Nabi dan para sahabat, memasuki masjid sambil menenteng sandal di tangan kiri dengan janggut yang masih basah karena air Wudhu, dia adalah seorang pria dari kalangan sahabat Ansor.

Keesokan harinya Nabi mengulang perkataannya, “sebentar lagi di hadapan kalian akan lewat seorang penghuni Surga.” Tak lama kejadian seperti hari kemarin terulang. Pria berjanggut basah sambil menenteng sandal itu memasuki masjid. Di hari berikutnya, peristiwa itu terulang hingga ketiga kalinya. Perkataan Nabi pun sama, yang melintas pun sama, gayanya pun sama, melintas dengan janggut basah dan menenteng sandal.

Seorang sahabat Muhajirin bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash penasaran dengan orang itu. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, “amalan apa yang membuat orang itu disebut sebagai penghuni Surga hingga tiga kali oleh Nabi.” Tentu saja Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ingin seperti dia, menjadi penghuni Surga.

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash lantas mengikuti si Penghuni Surga itu. Setelah diikuti hingga ke rumahnya, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash lalu menyampaikan keinginannya agar ia diizinkan bermalam di rumah si Penghuni Surga selama tiga hari dengan alasan sedang bermasalah dengan ayahnya. Padahal, di balik niat menginap itu Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ingin menyaksikan secara langsung ibadah apa yang dilakukan orang itu hingga disebut Nabi sebagai Penghuni Surga.

Izin pun diberikan. Selama bermalam di rumahnya, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash tak pernah menemukan satu pun ibadah khusus yang ia lakukan. Mungkin di benaknya, Penghuni Surga itu pasti tekun salat malam, senang membaca Alquran berjam-jam, atau menghabiskan waktu dengan berdzikir. Dia bingung, kok bisa ada penghuni Surga yang ibadahnya ‘biasa-biasa’ saja, tak ada yang istimewa. Dia pun mengaku sempat meremehkan si Penghuni Surga itu.

Keesokan harinya, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bercerita langsung niat sebenarnya bermalam di rumah itu. Dia berkata, “sebenarnya aku ini tidak ada masalah sama ayahku. Aku bermalam di sini hanya ingin tahu ibadah apa sebenarnya yang membuat engkau disebut sebagai si Penghuni Surga, padahal aku melihatmu tidak melakukan banyak amal.”

Dengan jujur dan penuh kerendahan hati lelaki penghuni Surga itupun menjawab, “apa adanya aku adalah seperti yang kau lihat, aku memang orang yang bukan banyak amal atau beribadah, aku pun tak mengisi malam-malamku dengan ibadah tertentu.” Putus asa dengan jawaban itu Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bertambah bingung kenapa Nabi menyebutnya si Penghuni Surga, ia pun segera berpamitan dan mengucapkan terima kasih.

Baru saja beberapa langkah meninggalkan halaman rumah, lelaki penghuni Surga itu memanggilnya. Tiba-tiba ia ulangi jawaban pertamanya, “apa adanya aku adalah seperti yang kau lihat.” Namun kali ini ia menambahkan jawaban itu dengan berkata,”ghoiru ‘anni laa ajidu fi nafsii li ahadin minal muslimiina ghissyan wa laa ahsudu ahadan ‘alaa khoirin a’thaahullahu iyyaahu (aku memang tak melakukan apapun, hanya saja tak pernah terbersit dalam hatiku untuk menyakiti siapapun, aku juga tidak pernah dengki atas karunia yang Allah berikan kepada orang lain).”

Dalam penutup hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya ini Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash menyanjungnya dengan berkata, “hadzihil latii balaghot bika, wa hiyallatii laa nuthiiqu (inilah yang membuat dirimu bisa mencapai seperti yang disebut Rasulullah (penghuni Surga), dan caramu meraih Surga itulah yang sulit kami capai).”

Inilah jawaban yang dicari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Dia yakin inilah alasan utama Nabi menyebut orang ini sebagai si Penghuni Surga. Ia pun kini tahu bahwa karunia Allah di akhirat nanti bukan semata karena ritual ibadah badan yang dilakukan, melainkan juga ibadah hati. Kebersihan hati yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang dan menolak menyakiti perasaan orang lain adalah kunci pembuka Surga.

Ibadah hati memang tidak semudah yang diucapkan, karena itu berhubungan dengan sikap ego yang ada pada diri manusia. Naluri alamiah ego adalah merendahkan martabat orang lain, merasa paling benar, menyalahkan orang lain, hingga berkesimpulan bahwa orang lain patut mendapat hukuman karena berbeda dengan dirinya. Karena itulah lelaki Ansor si Penghuni Surga itu layak mendapatkan kebaikan akhirat dan pujian Nabi lantaran telah berhasil menaklukan egonya. Bagaimana dengan kita? Bisakah kita menirunya? Semoga!

This post was last modified on 16 Juni 2015 1:59 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago