Narasi

Inspirasi Tiga Jenis Persaudaran Perspektif NU

Konsep persaudaraan sesungguhnya tidak bisa dipahami sempit, hanya semata-mata berdasarkan trah keluarga, etnis, dan agama tertentu, sebagaimana diyakini oleh sebagian kalangan atau kelompok. Apalagi, persaudaraan dalam konteks warga negara, sangatlah luas, malampaui sekat primordialisme itu.

Dalam hal ini, penting mencermati dan menjadikan inspirasi apa yang pernah dirumuskan oleh NU (Nahdlatul Ulama) dalam hasil Muktamar era tahun 1980-an. Deklarasi Khittah NU 1984 menyebutkan makna dasar persaudaraan (ukhuwah), yaitu, “Islam itu bersifat fithri, bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.”

Di bagian lain, juga disebutkan, bahwa perilaku warga NU, perseorangan atau organisasi perlu “menjujung tinggi persaudaraan, persatuan, dan kasih mengasihi.” Persaudaraan ini harus didasari pula oleh sikap “menjujung tinggi kejujuran dalam bersikap, berfikir, dan bertindak”.

Beberapa Kiai senior NU kemudian memberikan pengertian soal persaudaran ini, di antaranya adalah KH. Muchit Muzadi  atau yang biasa dipanggil Mbah Muchit. Menurutnya, gagasan persaudaraan itu berangkat dari dua sikap: saling mengerti (li ta‘arafu) dan karramna (saling menghormati). Islam, menurut Mbah Muchit, mengatur hubungan antar sesama umat manusia yang berkembang dengan landasan saling tolong menolong, saling membantu, saling mengasihi, dan saling menghormati (Muzadi, 2006).

Baca Juga : Homo Pancasilais: Sikap Preventif Terhadap Radikalisme

Sementara itu, manusia yang saling berhubungan satu sama lain itu berbeda-beda dan bermacam-macam sifat hubungannya: ada yang dihubungkan dengan sifat kekerabatan (keluarga), tempat tinggal (tetangga), pekerjaan, pendiddikan, dan lain-lain. Dalam konteks itulah, menurut Mbah Muchit, NU melihat ada tiga jenis hubungan manusia yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan umat manusia, yaitu: kesamaan agama, kesamaan bangsa-tanah air, dan kesamaan global sesama umat manusia.

Tiga jenis ukhuwah

Dari tiga jenis kesamaan itu, NU meyakini seyakin-yakinnya Islam mengatur tiga jenis hubungan itu. Dari sinilah perlunya dipelihara, dipupuk dan dikembanglan secara terus menerus tiga jenis persaudaraan: ukhuwah Islamiyah (antar sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (antar sesama bangsa), dan ukhuwah basyariyah (antar sesama manusia).

Di Muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Krapyak, kemudian dirumuskan secara lebih detil soal ukhuwah Islamiyah yang juga berarti persatuan dan persaudaraan kemanusiaan. Pertama, Ukhuwah memberikan pengertian cakupan arti suatu sikap yang mencerminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas, yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, atau suatu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi sosial.

Kedua, timbulnya ukhuwah dalam masyarakat dikarenakan ada persamaan: keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal, maupun cita-cita; dan adanya kebutuhan yang dapat dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerjasama, gotong royong, dan persatuan.

Ketiga, ukhuwah (persaudaraan dan persatuan) menuntut beberapa sikap dasar, yang akan mempengaruhi kelangsungannya dalam realitas kehidupan sosial. Sikap-sikap dasar tersebut adalah: saling mengenal, saling menghargai dan menenggang, saling menolong, saling mendukung, dan saling menyayangi.

Keempat, ukhuwah (persaudaraan dan persatuan) akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap destruktif yang bertentangan dengan etika sosial yang baik: saling menghina, mencela, berburuk sangka, mencemarkan nama baik, curiga yang berlebihan, dan congkak.

Kelima, menurut arti bahasa dalam masalah ijtima`iyah, ukhuwah dapat dijabarkan dalam konteks hubungan persaudaraan sesama muslim, persatuan nasional, dan solidaritas kemanusiaan.

Keenam, ukhuwah Islamiyah dan persatuan nasional merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan saling mendukung, keduanya harus diupayakan keberadaannya secara serentak, dan tidak dipertentangkan satu sama sama lain.

Ketujuh, hubungan persaudaraan Islam dan persatuan nasional adalah: akomodatif, kesediaan saling memahami pendapat, aspiasi dan kepentingan; selektif, sikap kritis untuk menganalisis untuk memilih yang lebih baik dan ashlah; dan integratif, kesediaan untuk menyelaraskan dengan berbagai kepentingan secara benar, adil, dan proporsional.

Kedelapan, ukhuwah Islamiyah merupakan modal dasar bagi terwujudnya hubungan kemanusiaan yang universal.

Kesembilan, ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial, khususnya dalam berbangsa dan bernegara, merupakan kondisi yang diperlukan dalam kehidupan perseorang atau masyarakat.

Kesepuluh, proses pengembangan wawasan ukhuwah, sering mengalami hambatan yang timbul: kebanggaan kelompok dan fanatisme berlebihan; sempitnya cakrawal berpikir; dan lemahnya fungsi kepemimpinan umat.

Kesebelas, atas dasar itu, penerapan konsep wawasan ukhuwah dapat dilakukan melalui berbagai cara: persaudaraan Islam dimulai dari lingkungan yang kecil (keluarga), kemudian disebarkan ke arah yang lebih luas; perlu keteladanan dari pemimpin umat, khususnya NU; mengembangkan cakrawala berpikir dalam keagamaan atau kemasyarakatan untuk meningkatkan wawasan saling memahami pihak lain; terbentuknya lembaga-lembaga untuk memperjuangkan wawasan itu; mendayagunakan lembaga yang sudah ada, baik yang dilakukan masyarakat atau yang disediakan pemerintah; mendayagunakan lembaga-lembaga di NU, seperti pesantren dan sejenisnya untuk mengembangkan wawasan ukhuwah; dan menciptakan mekanisme ishlahu dzati al-bain, baik untuk kepentingan intern NU maupun untuk mengatasi perbedaan pendapat dengan pihak-pihak lain. Dari konsep tersebut, maka tidak heran, jika NU, dengan sendirinya memiliki tekad untuk menjaga dan memelihara tiga jenis ukhuwah, yaitu sesama umat Islam, bangsa, dan solidaritas kemanusiaan. Semoga menginspirasi kita semua.

This post was last modified on 21 Juli 2020 1:34 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

2 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

2 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

3 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

3 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

3 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

3 hari ago