Narasi

Paradigma Teologis Hasan Hanafi dalam Merawat Persaudaraan Kebangsaan

Sebagai Founding Father of Occidentalism, Hasan Hanafi juga berperan sebagai maestro teologis. Membuka sekat-sekat primordial dogma ketuhanan yang hanya dimanfaatkan sebagai legalitas demi kepentingan tertentu. Hilangnya persaudaraan di tengah perbedaan. Hilangnya kesadaran di dalam mencintai negaranya. Serta terbentuknya sekat identitas dan membangun kelas sosial. Serta ilusi tegaknya negara kekuasaan berbasis agama merupakan fenomena kesadaran teologis yang sangat membahayakan. Karena hal ini tidak hanya merusak persaudaraan dalam kebangsaan. Tetapi merusak tatanan kemanusiaan karena tindakan-tindakan kezhaliman berbasis teologis telah melebar menjadi sayap-sayap kekuatan politik.

Karena bagi Hasan Hanafi, Inti dari ajaran Islam itu adalah Tauhid. Satu proporsi keimanan tentang keesaan-Nya, Ke-Maha-kuasaan-Nya, kemutlakan-Nya dan Kebesaran-Nya. Tetapi Hasan Hanafi menolak keras pemahaman Teologis dalam Islam yang kadang cenderung berwatak sentralistik, eksklusif, otoriter dan deterministic. Hal ini memunculkan ide tentang penguasaan tunggal dan tegaknya khilafah sebagai kesadaran teologis yang lahir dari pemahaman yang sangat sempit. Sehingga sangat mudah dimanfaatkan sebagai legitimasi kesewenang-wenangan untuk berbuat kezhaliman dengan mengatasnamakan diri sebagai pelayan Tuhan.  

Beliau menyebutnya sebagai khadim al-umat. Konsep teologis yang sangat (teosentris) sehingga problem-problem kemanusiaan (antroposentris) kadang terlupakan. Padahal substansi ajaran-Nya untuk bisa merawat kemanusiaan. Karena teologi tidak hanya bersifat melangit dan tidak ilmiah.

Menjadikan teologi tidak hanya sekadar dogma-dogma tanpa nilai dan kehilangan makna bagi peradaban umat manusia. Tetapi bagaimana seharusnya merekonstruksi sebagai paradigma dalam membangun kesadaran umat-Nya tentang kehidupannya, cara ber-sosial serta kesadaran akan kecintaannya terhadap negerinya. Yaitu dengan menghadirkan ruh Teologis dan menjelma sebagai ilmu perjuangan di dalam menciptakan tatanan sosial. Menjadikan keimanan secara aktual sebagai refleksi etik dan memotivasi tindakan akan kemanusiaan.

Baca Juga : Homo Pancasilais: Sikap Preventif Terhadap Radikalisme

Hasan Hanafi berusaha mentransformasikan nilai-nilai teologis tradisional yang hanya bersifat teosentris menuju antroposentris. Dari Tuhan Tuhan di langit untuk kemanusiaan, dari pemahaman akan wahyu yang bersifat tekstualis menuju kontekstual. Tentu ini sebagai kebutuhan pokok secara ideologis dalam paradigma teologis agar merekonstruksi ke dalam setiap kebutuhan umat manusia. Baik dalam ber-sosial, bernegara serta kesadaran untuk menghargai akan sebuah perbedaan.

Misalnya dalam konsep teologi dalam Islam yang hanya sekadar menampakkan persaudaraan dalam keislaman. Solidaritas umat Islam yang merobek persaudaraan antar kebangsaan. Karena mengarah kepada kekuatan identitas berbasis agama. Padahal, ada tiga porsi persaudaraan yang sejatinya menjadi paradigma penting di dalam menciptakan perisai umat untuk bisa menjaga tatanan sosial yang lebih solid, toleran dan bersahabat. Yaitu ukhuwah Islamiyah, sebagai prinsip persaudaraan seluruh umat Islam. Tentu harus seimbang dengan ukhuwah wathaniyah persaudaraan dalam kebangsaan. Serta kebutuhan universa yaitu ukhuwah basyariyah persaudaraan dalam kemanusiaan.            

Porsi persaudaraan dalam Islam semacam ini bagi Hasan Hanafi sebagai buah dari kesadaran teologis yang memahami akan kebutuhan umat manusia akan pentingnya tatanan sosial. Menempuh jalan persaudaraan tanpa ada sekat-sekat primordial, klaim eksklusif, konflik perpecahan dan manipulasi ajaran-Nya. Islam bukan agama yang hanya dijadikan legalitas gerakan politik identitas yang menghancurkan persaudaraan dalam kebangsaan. Karena dalam Islam itu sendiri sangat menjunjung nilai-nilai persaudaraan dalam kenegaraan. Cinta tanah air Hubul Wathan minal Iman Merawat persaudaraan dalam kebangsaan berbasis refleksi antroposentrisme Teologis untuk mencapai puncak kesadaran umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

This post was last modified on 21 Juli 2020 2:42 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

1 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

1 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

1 hari ago

Dari Ilusi ke Radikalisasi : Bedah Narasi Khilafah dalam Gerakan Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 7 September 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 minggu ago

Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di…

3 minggu ago

Hierarki Nilai Al-Qur’an: Upaya Menjaga Marwah Teks dan Urgensi Konteks

Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah.…

3 minggu ago