Indonesia merekam banyak kejadian intoleransi yang dilakukan oleh anak usia dini. Pada tahun 2021, sebuah pemakaman umum dirusak oleh sekelompok anak, tepatnya di pemakaman umum Cemoro Kembar kelurahan Mojo, Pasar Kliwon Solo pada hari Rabu, 16/6.
Perusakan tersebut dilakukan oleh sekitar 10 anak murid sebuah lembaga pendidikan di daerah setempat. Hasil pemeriksaan dan investigasi menyebutkan bahwa ada sekitar 12 makam yang mengalami kerusakan.
Makam-makam yang rusak tersebut merupakan makam orang-orang Kristen yang dapat diidentifikasi melalui simbol salib yang hancur di sekitar makam. Mirisnya, pelaku utama dari perusakan makam tersebut adalah anak-anak setingkat Sekolah Dasar (SD).
Pada tahun 2024, Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT) mencatat bahwa bahwa meskipun siswa menolak Indonesia diatur oleh sistem agama tertentu, mereka merasa “lebih nyaman” bergaul dengan yang se-agama, termasuk ketika berinteraksi di media sosial.
Dalam kerangka sosial itu, sejatinya ada gejala intoleransi pasif, bukan sebagai pengingkaran terhadap keberagaman, tetapi perasaan bawah sadar untuk bersikap eksklusif.
Lembaga pendidikan sangat berperan dalam memupuk benih-benih itu pada anak didiknya. Kejadian ini tentu sangat memprihatinkan. Menurut psikologi pendidikan, anak-anak setara sekolah dasar berada pada fase pembentukan karakter. Pada usia ini, anak belajar untuk menemukan identitas dirinya.
Dalam proses identifikasi inilah, seorang anak perlu mendapatkan bimbingan tentang apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Orang dan benda di sekelilingnya tentu ikut membangun karakter pada dirinya karakter itu nantinya yang akan menjadi fondasi anak-anak untuk menjalani hidup di fase-fase berikutnya.
Ada dua pihak yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak, orang tua di rumah dan guru di sekolah. Keduanya tentu mempunyai cara masing-masing dalam mendidik anaknya, namun nilai-nilai mendidik anak yang dilakukan Luqman yang diceritakan dalam al-Qur’an dapat menjadi pedoman pokok bagaimana mendidik anak.
Kebijaksanaan Luqman dalam mendidik anak-anak bahkan menjadi kisah tersendiri dalam al-Qur’an, artinya umat Islam sudah mempunyai landasan moral dan pedoman tentang bagaimana orang tua harusnya menanamkan pendidikan karakter pada anak.
Dalam QS. Luqman: 18 disebutkan,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Dengan jelas Luqman mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap rendah hati sepanjang hidup dan menjaga hubungan baik orang-orang di sekitar. Hal ini kadang luput dari lembaga-lembaga pendidikan Alih-alih bersikap rendah hati dan membina hubungan baik dengan sesama, anak-anak ini justru diajarkan untuk membanggakan agama dan identitas diri secara berlebihan, perasaan superioritas ini berimplikasi pada kecenderungan anak untuk “mendiskreditkan” pihak yang tidak sama dengan identitasnya.
Di sinilah kemudian benih intoleransi bekerja. Ada dua spekulasi mengenai skenario awal bagaimana perusakan makam tersebut bisa terjadi, pertama lembaga pendidikan tersebut memang dengan sengaja menyuruh anak-anak didiknya untuk berbuat kerusakan. Kedua, anak-anak tersebut secara sadar diri merusak makam karena mereka yakin itulah yang seharusnya mereka lakukan.
Kedua skenario ini sama-sama berbahaya, akan tetapi skenario kedua mempunyai dampak jangka panjang yang lebih mengerikan. Jika anak-anak tersebut secara sadar diri dan penuh keyakinan menghancurkan makam orang Kristen, yang berarti itu simbol kebencian terhadap non-muslim, maka artinya mereka telah menyerap “dengan baik” doktrin intoleransi.
Mengapa demikian? Intoleransi merupakan bibit yang akan mengantarkan pada paham radikalisme. Paham radikalisme merupakan bibit yang akan mengantarkan pada sikap ekstremisme.
Tentu kita tahu bentuk konkrit dari sikap ekstremisme, yaitu kerusakan fisik yang bertujuan untuk menciptakan teror. Melihat fenomena di Solo, artinya anak-anak ini telah sampai pada fase ekstrem sejak dini. Jika hal ini tidak mendapat pengawasan dari negara, tidak menutup kemungkinan anak-anak ini akan tumbuh menjadi algojo-algojo teror yang bisa menciderai semangat persatuan dan pluralisme di Indonesia.
Tidak usah jauh-jauh berbicara pluralitas, bahkan anak-anak korban indoktrinasi radikal teroris ini bisa semakin menciderai citra Islam sebagai agama yang damai dan rahmah.
Paham radikal teroris tidak mengenal batas geografis. Kita perlu mengecek adik-adik kita, apakah ada perilaku-perilaku ganjil seperti sering menghakimi orang lain atau bahkan menjelek-jelekkan agama lain. Kita harus peduli terhadap lingkungan kita, karena kitalah agen-agen perdamaian itu. Siapa yang hendak menjaga anak-anak dan adik-adik kita selain diri kita sendiri.
Intoleransi bukan lagi isu yang berada di luar pagar sekolah. Justru kini, sekolah menjadi salah…
Di tengah keragaman masyarakat Indonesia yang begitu kaya akan suku, agama, ras, budaya, bahasa, dan…
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa yang luar biasa. Di…
Ada kecenderungan yang memprihatinkan di kalangan kaum muda generasi Z. Yakni fenomena eksklusivisme dalam berteman…
Indonesia, sebagai sebuah entitas bangsa-negara yang dibangun di atas fondasi pluralitas sosio-kultural yang luar biasa,…
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai penghormatan kepada Ki Hajar…