Narasi

Islam Agama Rahmat, Bukan Laknat

Bagaimanapun, beragama merupakan keniscayaan bagi orang yang memiliki kepercayaan tentang adanya dimensi ketuhanan yang maha dalam segalanya. Hanya saja, sering terjadi ironi dalam kehidupan beragama yang kita jalani hari ini. Terutama dalam beragama Islam. Entah terjadi karena kekeliruan dalam memahami teks agama, atau karena kepentingan segelintir kelompok semata. Yang jelas, hari ini marak cara berislam yang hitam-putih, saling mengkafirkan dan saling memusuhi. Parahnya, perilaku ini sering bermuara pada tindakan-tindakan radikal dan terorisme. Alhasil, Islam yang sebenarnya menjadi rahmat, justru menjelma menjadi agama laknat dan pembawa bencana.

Jika melihat ini, Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam tentu saja akan menagis. Sebab, Nabi Muhammad merupakan utusan Allah yang sangat peduli kepada nasib umatnya. Bahkan, atas kepeduliannya itu, Nabi Muhammad pernah meminta kepada Allah SWT agar umat Islam disatukan saja, tidak dikelompok-kelompokkan, meskipun akhirnya tidak dikabulkan oleh-Nya (Shahih Muslim, 52: 2890).

Belajar dari Rasulullah

Jelas bahwa umat Islam harus meniru panutannya, Nabi Muhammad. Bukan yang lain. Apalagi menurut ‘Aisyah, akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an. Maka, ketika kita mengaku umat Islam yang ingin mengamalkan Al-Qur’an secara utuh, maka kita perlu meneladani akhlak rasulullah. Memahami akhlak dan sejarahnya, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah mencatat, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika dilempari batu oleh penduduk Thaif karena mereka tidak suka dengan dakwah rasulullah, beliau tidak membenci masyarakat Thaif, apalagi melaknatnya. Justru rasulullah mendoakan penduduk Thaif agar diberikah hidayah oleh Allah.

Lalu, pada peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah tidak membawa pasukan ataupun punya hasrat ingin membalas dendam kepada masyarakat arab Jahiliyah yang sejak kecil telah menyakitinya. Beliau justru dengan sikap kasih sayangnya melarang para sahabatnya melakukan kekerasan saat bertemu dengan para penghardiknya.

Lebih lanjut, ketika Abu Bakar mengawal Rasulullah Hijrah, seorang Umar Bin Khattab yang saat itu masih belum berislam memburunya hingga ke Gua Hira. Tapi sikap Rasulullah tidak serta merta melaknat Umar, sebaliknya beliau mendoakan agar Umar Masuk islam dan menambah kekuatan ummat Isalm.

Maka jika saat ini ada orang islam yang melaknat saudara seagamanya sendiri, melaknat saudara sebangsanya sendiri, melakukan tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan sikap kasih sayang, artinya, orang itu sebenarnya tidak paham sejarah hidup panutannya, Rasulullah Muhammad SAW. Memang, ia umat Islam, tapi perilakunya belum sepenuhnya mencerminkan prinsip agama Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad. Agama rahmat yang selalu peduli terhadap sesama. Bukan memusuhi sesama.

Kembali ke Fitrah

Dari narasi-narasi tersebut, jelas bahwa fitrah agama Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.

Maka, seyogyanya, kita perlu kembali ke fitrah Islam sebagai agama rahmat yang menghendaki kedamaian, bukan laknat dan permusuhan. Pun, pernyataan Islam sebagai agama rahmat ini sesungguhnya hasil dari kesimpulan dari firman Allah Swt “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107). Lalu, apakah kita masih akan menyangkalnya?

Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab menjelaskan bahwa rahmat berarti kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

Secara lebih lanjut, Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa maksud rahmat atas diutusnya Nabi Muhammad  adalah sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian. Dengan kata lain, agama Islam adalah agama yang pro-perdamaian, pro-kemanusiaan, pro-keadilan, dan pro-kesejahteraan. Bukan mendukung perisilisihan, permusuhan, teror, ataupun tindakan radikal yang membahayakan.

Jadi, pada dasarnya nilai Islam sebagai agama rahmat adalah selaras dengan nilai-nilai universal yang berlaku di dunia saat ini. Lalu, mengapa masih saja ada kelompok orang yang melakukan pengecualian? Seolah-olah Islam hanya rahmat bagi sekelompoknya saja, tapi laknat bagi kelompok Islam yang lain, atau umat beragama lain. Padahal, fitrah Islam adalah jelas, agama yang menghendaki rahmat, bukan laknat. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 15 Juni 2017 11:27 AM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago