Narasi

Keislaman dan Keindonesiaan: Mengakar ke Bumi, Menjulang ke Langit

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim, ayat 24).

Ayat ini sangat inspiratif untuk menggambarkan sinergi keislaman dan keindonesiaan. Islam rahmatan lil’alamin dapat digambarkan, salah satunya, dengan Islam yang mengakar kuat di bumi Nusantara, sementara berkah dan tampilannya berwarna-warni memberikan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh bangunan wajah Islam Nusantara menjadi bukti nyata bahwa Islam sudah mengakar dalam seluruh tradisi Nusantara. Dengan nilai Islam yang mengakar itu, Islam memberikan sumbangan sangat besar bagi ketertiban, ketentraman, dan keadaban Indonesia. Berbagai ancaman intoleransi dan radikalisme itu harus disingkirkan, karena berbahaya bisa mencabut akar kuat Islam yang sudah mengakar di bumi Nusantara ini.

Menurut KH. M. Jadul Maula (2007), QS Ibrahim ayat 24 tersebut bisa dibaca sebagai jangkar imajinasi sosial yang memberikan kerangka dan arahan bagi upaya mengatasi silang-sengkarut dan saling tabrak antar berbagai sumberdaya sosio-kultural yang ada di Indonesia. Dalam ayat tersebut, “Kalimat yang Baik” yaitu kesaksian “La ilaha illa Allah” yang meliputi penghayatan individu maupun proses sosial, diibaratkan seperti “Pohon yang Baik” artinya berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk terus hidup-dinamis-produktif, yaitu yang “Akarnya menghunjam di Bumi” artinya secara individu berakar pada penelusuran ke dalam diri sendiri yang paling dalam dan secara sosial berakar pada pembentukan modal sosio-kultural sendiri yang paling kuat.

Sementara “Ranting Pohon itu menjulang ke Langit”, lanjut Jadul, artinya, secara individu proses penghayatan sampai kepada puncak tertinggi yakni kebebasan dari rasa takut dan secara sosial proses pengelolaan sumberdaya sosio-kultural sampai kepada puncak tertinggi yakni kedaulatan bangsa. “Pohon itu berbuah setiap saat, atas izin Tuhannya” artinya, proses pencapaian kebebasan individu dan kedaulatan bangsa tersebut tidak pernah berhenti, berlangsung terus menerus, dan senantiasa memberi inspirasi kepada individu-individu aamaupun bangsa-bangsa lainnya untuk menapaki jalan yang sama. Kemudian sebaliknya, metafor bagi “Kalimat yang Buruk” seperti “Pohon yang Buruk”: “Tercerabut dari Akar-Bumi” dan akibatnya “Tidak punya Kekuatan”.

Tata Nilai Kebangsaan

Saat ini sedang terjadi proses pelapukan akar substansi ajaran terbukti dengan makin tak berdaya nilai luhur bangsa yang telah mengakar kuat. Terpaan gelombang globalisasi dan radikalisme menyebabkan tata nilai kebangsaan semakin kabur, tak berjejak. Kejujuran, keteguhan, kebersahajaan, tenggang rasa, dan komitmen akan keadilan dan kemanusiaan, semakin hari, tak pernah membekas dalam gerak kehidupan di Indonesia. QS Ibrahim ayat 24 menjadi cacatan sangat krusial bagi umat Islam Indonesia untuk menata kembali bentuk kebangsaan dan kenegaraan yang selama ini terabaikan.

Bangsa Indonesia sekarang sedang asyik menyembah pragmatisme, gampang berpaling karena godaan matrialisme, dan terus terjerat dalam laju globalisasi ekonomi neo-liberal. Korupsi semakin merajalela, birokrasi kaya dengan “maling”, politisi hanya menjual janji, wakil rakyat justru menjadi pengkhianat rakyat, kegiatan ekonomi hanya untuk kemakmuran pribadi dan kelompok, dan konflik antar agama, ras, dan suku terus bergentayangan tanpa henti. Indonesia menjadi negara tanpa arah, gagal mencipta kreasi masa depan, dan terus terseok dalam percaturan kompetisi global.

Islam yang rahmatan lil’alamin harus dihadirkan kembali dengan menguatkan akar-akar keislaman dalam setiap jejak kebudayaan nusantara. Kaum muda harus mampu membangun kreasi, sehingga wajah Islam semakin mengakar dalam tradisi keseharian bangsa. Radikalisme jangan lagi diberikan tempat lagi dalam gerak keindonesiaan, karena itu menodai wajah keislaman yang rahmatan lil’alamin. Wali Songo sebenarnya telah memberikan alamat pegetahuan bahwa Islam yang kuat justru hadir dengan wajah damai dan menyejukkan. Islam hadir menguatkan negara, dalam konteks hari ini, menguatkan Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Indonesia masa depan masih panjang. Tahun 2045 adalah Indonesia emas. Semua masyarakat Islam harus saling menguatkan dan menata kembali nilai-nilai kebangsaan dalam jalinan kehidupan bernegara. Pengalaman panjang semua entitas bangsa harus diakumulasi dalam sebuah tradisi luhur, sehingga anak bangsa selalu mengkreasikan tata nilai kebangsaan dalam formula baru yang sesuai dan menjawab gerak peradaban.

Dengan berdiri dan mengakar kuat dalam tradisi Nusantara, maka wajah Islam Indonesia masa depan akan semakin memberikan sinar keberkahan untuk kemajuan dan kesejahteraan. Islam Nusantara bahkan akan menjadi solusi bagi masa depan peradaban dunia.

This post was last modified on 15 Juni 2017 2:07 PM

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

3 hari ago

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik:…

3 hari ago

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng Dunungipun tauhid wonten ening Ma’rifat wonten eling —Serat Pengracutan, Sultan…

3 hari ago