Keagamaan

Islam Kalijagan dan Keberagaman

Anyaman antara Islam dan lokalitas, yang barangkali yang paling awal dan dapat diverifikasi, dan bahkan dapat disaksikan hingga kini, adalah varian Islam Kalijagan. Penganyaman antara Islam dan lokalitas ini adalah sebuah fenomena yang penting tentang bagaimana Islam menyikapi keberagaman yang, dengan melihat sejarah sebagaimana di masa Majapahit, merupakan fakta kultural Nusantara yang tak terbantahkan.

Sampai hari ini, Kalijaga adalah seorang yang besar yang setidaknya dirasa dimiliki oleh dua komunitas yang dapat dipilah dan dipilih: Islam dan kejawen. Peringatan yang dihelat di setiap bulan Sela di Kadilangu menunjukkan bahwa Kalijaga adalah seorang figur dominan baik dalam komunitas Islam (pesantren) maupun kejawen. Kedua golongan yang bisa dipilah itu seperti menyatu dan berbagi Kalijaga untuk memperingati kebesaran sang sunan.

Dalam kultur pesantren, Kalijaga adalah seorang anggota walisongo yang konon dikenal sebagai wali yang paling mempribumi. Sementara dalam kultur kejawen, ia dianggap sebagai sesosok besar dengan gelar “Guru Suci Wong Tanah Jawi.” Bahkan pun terdapat komunitas-komunitas tertentu di Jawa yang secara formal bukan Islam, turut pula menganggapnya sebagai sesepuh yang dimuliakan.

Belum lagi berbagai catatan tentang persinggungan Kalijaga di wilayah dan kultur non-Jawa, yang di Bali ia digelari sebagai Mpu Dwijendra atau Dhanyang Nirartha, dan di Lombok ia tercatat juga mewariskan tembang bermetrum Sarkara, Kidung Rumeksa Ing Wengi, dengan bahasa yang sedikit berbeda dengan yang tersebar di Jawa—di samping tentu saja varian Islam Wegtu telu yang berbeda dengan Islam Wegtu Lima yang konon dibabarkan oleh Sunan Giri (Wali yang Bukan Wali: Kalijaga, Struktur, dan Hierarki Para Wali Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Kalijaga memang tak hidup di masa kini dimana keragaman agama dapat dijumpai dengan mudahnya. Namun, anyamannya atas Islam dan lokalitas adalah sebuah prototype tentang bagaimana semestinya pluralisme agama dan bahkan multikulturalisme, yang merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia, dianyam sedemikian rupa sebagaimana spirit Pancasila dan amanat konstitusi di masa kini.

Ada satu hal yang saya pandang sebagai sebuah kiat Kalijaga dalam mengayam keberagaman yang dapat kita saksikan hingga kini. Hal itu adalah pengutamaan lokalitas, baik itu kondisi kultural maupun kondisi geografis di atas hal-hal lainnya. Taruhlah budaya Jawa, yang ketika sudah menjadi paham menjadi kejawen. Ketika seumpamanya semua orang secara sadar diri merasa sebagai orang Jawa yang mau tak mau terstruktur oleh kebudayaannya, tak peduli ia seorang penghayat, Katolik, muslim ataupun Buddha, dst., maka dalam melaksanakan keagamaannya sudah barang tentu akan lebih dapat toleran terhadap perbedaan.

Dengan sedikit bahasa mentereng, apa yang telah dilakukan oleh mantan brandal Lokajaya itu adalah apa yang pernah disebut oleh Renato Rosaldo sebagai “cultural citizenship.” Secara sederhana, cultural citizenship adalah ketika yang mesti disadari pertama kali oleh orang bukanlah kemuslimannya, kekatolikannya, dsb., namun kejawaannya, kesundaannya, kedayakannya, dan bahkan keindonesiannya.

Dengan demikian, jalan sungsang Kalijaga dengan menempatkan lokalitas di atas segalanya justru akan menemukan universalitas dengan mekanismenya sendiri, yang belum tentu dengan jalan sebaliknya—sebagaimana yang dilakukan oleh paham-paham keagamaan transnasional di masa kini. Taruhlah beberapa aliran kejawen yang tercatat sebagai aliran penghayat kepercayaan di Jawa seperti PDKK ataupun PAMU, yang sebenarnya adalah juga tarekat-tarekat keislaman yang dari segi sanad keilmuan juga bersambung pada Abu Bakar al-Shiddiq dan Nabi Muhammad.

Dengan beranjak dari lokalitas, Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara (pendiri PDKK) dan Ki Ageng Djayapoernomo (pendiri PAMU), para penganut aliran-aliran ini kemudian menemukan universalitas Abu Bakar al-Shiddiq dan Nabi Muhammad. Tapi belum tentu ketika orang beranjak dari universalitas Abu Bakar dan Nabi Muhammad akan menemukan lokalitas Eyang Jimat ataupun Ki Ageng Djayapoernomo (Jawa). Sebab, bisa jadi ia akan menemukan Syekh Baha’uddin al-Naqsyaband dan tersangkut di Uzbekhistan.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Bahaya Pemahaman Tekstual Al Wala’ wal Bara’ Untuk Perdamaian Antar Agama

Secara etimologi, al Wala' berarti kesetiaan. Sedangkan al Bara' artinya terlepas atau bebas. Istilah ini…

2 hari ago

Cinta dan Kasih Mempertemukan Semua Ajaran Agama

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kasih sayang dan persaudaraan antar umat beragama menjadi salah satu…

2 hari ago

Lebih dari Sekadar Salaman dan Cium Tangan, Telaah Gestur Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal

Momen simbolis penuh hangat antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar bukan…

2 hari ago

Membaca al Wala’ wal Bara’ dalam Konteks Ke Indonesiaan

Yang harus ditegaskan adalah, apakah al wala' wal bara' kontradiktif dengan ajaran Islam? Tidak. Selama…

3 hari ago

Regenerasi Kepala BNPT dan Agenda Penanggulangan Terorisme di Era AI

Rabu, 11 September 2024, Presiden Joko Widodo secara resmi melantik Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol)…

3 hari ago

Risalah Rasulullah kepada Kristen Najran; Dokumen Perdamaian Berharga Islam-Kristen di Abad ke-7 M

Ada semacam paradoks di tengah kultur sosial keagamaan kita, yaitu munculnya kelompok-kelompok yang mengaku mengikuti…

3 hari ago