Narasi

Islam (DI) Nusantara Menuju Peradaban Berkedamaian

Umat Islam di Indonesia memiliki modal besar dan penting didorong untuk tampil dalam garda terdepan guna mewujudkan peradaban yang adil, sejahtera, dan damai. Modal tersebut adalah karakter Islam di Nusantara yang terbukti eksis mengelola kemajemukan sosial budaya.

Dinamika peradaban menghadapi tantangan kompleks seiring dengan laju globalisasi dan perkembangan zaman. Tantangan selanjutnya bahwa peradaban kini masih diwarnai beragam konflik, intoleransi, penjajahan, radikalisme, dan lainnya. Sebagian besar terjadi dalam kawasan mayoritas berpenduduk muslim, baik karena faktor internal, rekayasa eksternal, maupun perpaduan keduanya.

Umat Islam mesti bersikap terdepan dalam mewarnai peradaban global. Sikap yang optimal adalah moderat, menolak yang tidak sesuai dan menerima yang positif dan sesuai secara proporsional. Moderat tidaklah mudah dan bukan berarti sikap tidak tegas. Di dalamnya dibutuhkan kecerdasan, kesungguhan, strategi sistematis, dan persatuan umat. Target utamanya adalah berupaya tampil maksimal di garda depan peradaban dunia menunjukkan globalisme Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Kunci  perdamaian adalah toleransi. John Locke (dalam Chaniago, 2015) menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga,  pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.

Aplikasi toleransi yang paling sensitif adalah toleransi dalam kehidupan beragama. Semua agama setuju dengan beberapa komitmen yang berkaitan dengan hubungan beragama dan etika dunia. Karenanya semua agama mengajarkan umatnya untuk menghindari kekerasan (Maarif, 2014).

Toleransi dan kedamaian menjadi norma ketimuran yang dijunjung Indonesia mulai dari aspek kultural hingga regulasi formal.  Indonesia dikenal sebagai  “megacultural diversity”  dengan tidak kurang dari 250 kelompok etnis dan lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang dimiliki (Zada, 2012). Hal ini sejalan dengan konsepsi dan aplikasi Islam di Nusantara.

Keberagaman dalam hal agama dan kepercayaan di Indonesia menuntut implementasi toleransi. Tentunya toleransi yang bersifat kesekapatan dan  kemanusiaan bukan mencampuradukan ajaran agama. Pemerintah dalam upaya memelihara stabilitas keamanan, dan ketertiban telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Regulasi lain adalah ratidua instrumen HAM internasional yakni International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) pada 26 Oktober 2005. Selain itu ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Kaitannya dalam perlindungan hak-hak beragama, telah ditambahkan Pasal 28E, 28I dan 29 dalam amandemen UUD 1945 serta Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Indonesia memiliki potensi besar memberikan keteladanan bagi dunia dalam upaya membangun atau revitalisasi peradaban global. Kuncinya bagaimana kesuksesan menyemai keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam negeri serta menguatkan geopolitik guna mentransformasikannya ke kehidupan internasional.

Beberapa strategi penting diperhatikan umat Islam Indonesia dalam optimalisasi kiprahnya menyemai peradaban yang berkeadilan, sejahtera, dan damai. Pertama, menciptakan kondusifitas keberagaman dan keberagamaan. Kedua, memandang masalah konflik, kekerasan, hingga terorisme secara komprehensif. Ketiga,  semua pihak penting menahan diri dan menghindari provokasi. Keempat, melakukan revitalisasi geopolitik Indonesia dengan negara-negara Islam.

Pemerintah juga mesti adil dan tegas dalam penegakan hukum bagi oknum yang menodai toleransi. Hal-hal sekecil apapun tidak perlu ditutup-tutupi. Keterbukaan justru menjadi pintu masuk mengurai persoalan. Hal ini penting guna memberikan keteladanan global atas konsistensi menegakkan  keadilan.

Indonesia memiliki pengalaman besar dan banyak berhasil dalam mewujudkan perdamaian konflik. Filosofi Bhineka Tunggal Ika menjadi unggulan yang dapat ditularkan. Beberapa konflik pun berhasil diatasi dengan ujung perdamaian, seperti kasus Gerakan Aceh Merdeka, konflik Maluku, konflik Poso, dan lainnya. Semua ini modal besar yang dapat dijadikan bahan mediasi bagi konflik di negara lain. Prinsip politik luar negeri bebas aktif tetap harus dijunjung.  Kunci mediasi akan berhasil jika Indonesia menunjukkan netralitas dan objektifitasnya. Umat Islam Indonesia mesti tampil terdepan dan bangga menunjukkan khasanah Islam nusantara dalam kehidupan internasional.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

24 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 hari ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago