Tak ada yang salah, bahkan merupakan suatu kebijaksanaan keputusan negara ini yang menjadikan peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai hari libur nasional. Karena dengan itu, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, akan benar-benar fokus dan menghayati momentum Isra’ Mi’raj, yang diharapkan akan semakin menguatkan aspek spiritual dan sosial.
Peringatan Isra’ Mi’raj menyimpan sejuta makna untuk umat manusia, tanpa terkecuali bagi suatu bangsa. Makna spiritual sudah pasti disampaikan oleh para tokoh agama, terutama dalam momentum pengajian, dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka memperingati hari bersejarah ini.
Namun jarang sekali orang mengaitkan Isra’ Mi’raj dengan komitmen kebangsaan. Padahal, ini yang menjadi penting dan sangat genting untuk segera diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara. Lantas, apa makna Isra’ Mi’raj kaitannya dengan komitmen kebangsaan? Pertanyaan ini penting untuk dicarikan jawabannya.
Hakikat Isra’ Mi’raj itu pada dua dimensi; vertikal (spiritual) dan horizontal (sosial, politik, dll). Pada dimensi horizontal inilah, letak komitmen kebangsaan berada. Presiden Jokowi, dalam beberapa sambutannya ketika momentum Isra’ Mi’raj selalu menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus bergerak, ikut menjadi bagian dalam perubahan untuk negeri ini.
Komitmen Kebangsaan Umat
Sangat tidak berlebihan jika ada orang atau kalangan yang mengatakan bahwa, “negeri ini berdiri di atas ‘tengkorak-tengkorak’ para syuhada.” Sebab, umat Islam, ketika Indonesia masih dalam masa penjajahan, memiliki komitmen kebangsaan yang luar biasa. Hal itu bisa dibaca dari goresan sejarah negara Indonesia.
Ulama ulung kala itu tidaklah sekedar pandai mengkaji kitab kuning, melainkan juga memiliki kepekaan sosial yang luar biasa. Bagi mereka, bangsa dan negara Indonesia merupakan bagian dari “nyawa” mereka. Dari sini muncul istilah “Isy kari man au mut syahidan” (Hidup Mulia atau Mati Syahid!).
Tegas kata, kita tidak bisa membantah bahwa peran umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia sangat besar. Inilah yang harus selalu diingatkan dalam setiap momentum bersejarah dan bernilai dalam Umat Islam. Cara mengingatkan ini bisa melalui beragam cara; mulai dari ceramah keagamaan sampai majelis ta’lim di level bawah.
Dari sini sebenarnya sangat jelas bahwa Indonesia adalah rumah yang sangat ramah dan tepat bagi umat Islam secara keseluruhan. Namun, negera ini bukan negara agama. Meskipun demikian, negara sangat open dan fair terhadap agama-agama di Indonesia.
Namun persoalan belum kelar. Nyatanya, saat ini masih ada “banyak” umat Islam yang tidak puas akan kondisi saat ini. Kelopok yang tidak puas ini tidak sepakat dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Mereka menginginkan formalisasi syariat Islam.
Dan benar. Pada perayaan Isra’ Mi’raj belum lama ini, gerakakan #ReturnTheKhilafah kembali mencuat di kota-kota besar seperti di Bogor, Madura dan lainnya. Mereka kembali menyerukan bahwa #KhilafahAdalahSolusi untuk negara ini.
Kita harus tetap teguh dan komit terhadap Pancasila sebagai ideologi Indonesia. Kelompok yang tidak puas atau tidak setuju itu adalah benalu. Maka, sekali lagi, kelompok yang kecil jika dibandingkan dengan kelompok yang komit terhadap Pancasila sebagai ideologi Indonesia ini, harus diwaspadai gerakannya.
Bersamaan dengan itu, para tokoh agama, elite negara dan seluruh lapisan masyarakat tidak boleh berhenti membangun kesadaran tetntang komitmen kebangsaan. NKRI harga mati!
Peran Ormas Islam
Situasi menguatnya gerakan #ReturnTheKhilafah tidak bisa dianggap sepele. Untuk itu, ormas Islam seperti NU dan Nahdlatul Ulama harus selalu siap siaga membendung gerakan kelompok pendukung Khilafah.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh ormas besar itu? Pertama, meluruskan pandangan tentang keislaman dan keindonesiaan. Hari ini, masih ada rakyat/masyarakat, bahkan elit agama yang memiliki pandangan sistem yang diterapkan Indonesia saat ini bertentangan dengan Islam.
Dalam kondisi itulah, elit ormas harus bekerja keras untuk meluruskan pemahaman tersebut sembari memberikan penguatan tentang wawasan kebangsaan. Inlah yang digelorakan Gus Dur ketika umat Islam pecah karena pandangan politik berbeda.
Kedua, memberikan pencerahan kepada umat. M Zidni Nafi’ dalam Menjadi Islam, Menjadi Indonesia (2018:247) mengatakan bahwa NU memiliki komitmen kebangsaan luar biasa, yang salah satunya diwujudkan dalam hal menjaga dan mengawal perjalanan bangsa ini. Tidak hanya sekedar pepesan kosong. NU benar-benar menunjukkan komitmennya, hal ini ditunjukkan dalam agenda besar mereka, yakni Muktamar; yang selalu merespons dan mengukuhkan wilayah Nusantara.
Muhammadiyah pun demikian. Mereka mempunyai konsep Darul Ahdi wa Asyahadah (Negara Kesepakatan). Bahwa Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara Pancasila yang telah menjadi kesepakatan para ulama dan tokoh agama.
Gagasan dan konsep-konsep semacam ini harus dibumikan agar umat menjadi tercerahkan, tidak tergoda oleh ideologi imporan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…